Indonesia Harus Berdaulat di Kendaraan Listrik

Jakarta - Perpres kendaraan listrik usai ditekan Presiden Jokowi, menjadi satu payung untuk keberlangsungan mobil listrik di tanah Air. Namun Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) sekaligus Akademisi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Agus Taufik Mulyono mencatat masih ada beberapa pekerjaan rumah pemerintah terkait kendaraan berbasis listrik (KBL).

Hal pertama yang disoroti Agus adalah penerimaan masyarakat Indonesia teknologi listrik itu sendiri.

"Mempersiapkan masyarakat untuk masuk dalam era elektrifikasi dengan melakukan perubahan sebagai kunci memasuki era baru," kata Agus dalam Forum Grup Diskusi yang diselenggarakan detikcom bersama Kementerian Perhubungan di Hotel Harris Vertue, Harmoni, Jakarta, Kamis (29/8/2019).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pun demikian dengan pengelolaan limbah baterai, Agus mengatakan bagi pengguna kendaraan listrik harus mengikuti aturan pemerintah No 101 tahun 2014 tentang pengelolaan limbah B3.

"Setiap kendaraan bermotor yang memiliki baterai, pengelolaan limbahnya wajib mengikuti PP 101/2014. Jika limbah baterai KBL dipersoalkan, maka pertanyaan yang sama harusnya dialamatkan kepada produsen kendaraan BBM. Jangan ada standar ganda," kata Agus.

Untuk membangun perkembangan industri kendaraan listrik, kata Agus, pemerintah juga diminta mengatur insentif agar tepat sasaran, khususnya membuat harga jual lebih murah.

Ia juga menyinggung jangan sampai nasib kendaraan listrik Indonesia tergantung dari produsen kendaraan yang memproduksi internal combustion engine.

"Pengembangan KBL harus menunjukkan kedaulatan Indonesia dari politik industri kendaraan BBM," ucap Agus.

Bentuknya dengan mendorong perguruan tinggi untuk fokus melakukan penelitian pada motor listrik, motor controller, dan baterai. " Tentu perlu dukungan dana penelitian yang tidak sedikit," tutur Agus.