Namun, Instruktur dan Founder Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC) Jusri Pulubuhu mengatakan, tes psikologi untuk pembuatan SIM bukan hal yang urgent. Menurutnya, ada hal yang lebih penting lagi, yaitu ujian praktik kedua atau praktik berkendara langsung di jalan raya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi tidak menjamin orang itu akan begitu (lebih baik dan tertib) di jalan raya. Karena perilaku di jalan sangat bergantung pada kondisi saat itu," kata Jusri kepaada detikOto, Kamis (21/6/2018).
"Karena saat ini jadi pertanyaan, misalnya orang tersebut lolos psikotest, apakah dia bisa menjamin dia akan tertib? Nggak juga," sebutnya.
Kata Jusri, pelanggar lalu lintas bukan hanya pengemudi dari kalangan bawah yang mungkin tidak pernah mengikuti psikotest. Menurutnya, banyak kalangan terpelajar yang masih melanggar peraturan lalu lintas.
"Dari pengemudi berdasi, bahkan pelat merah, TNI atau apa juga ada yang melanggar. Padahal di institusi mereka itu ada proses penyaringan yang namanya psikotest," sebut Jusri.
"Psikotest, begitu dia keluar dari psikotest, kalau dia mendapat tekanan di luar berupa pancingan emosi, orang motong dan lain-lain, atau lingkungan sekitarnya ada yang menerobos lampu merah, itu kan terpengaruh dia," ujar Jusri.
Daripada tes psikologi, Jusri menilai lebih urgent ujian praktik kedua di jalan raya sebelum mendapatkan SIM. Dengan begitu, pengendara akan diuji secara langsung skill hingga pengendalian emosi.
"Tujuannya (praktik di jalan umum) lebih banyak. Di jalan raya kan kondisi nyata. Tujuannya antara lain pengendalian emosi, ketertiban, empati, berbagi, kemampuan mengemudi defensive driving, dan lain-lain," ucapnya. (rgr/lth)
Komentar Terbanyak
Selamat Tinggal Calo, Bikin SIM Wajib Ikut Ujian Lengkap
Naik Taksi Terbang di Indonesia, Harganya Murah Meriah
Gaya Merakyat Anies Baswedan di Formula E Jakarta, Duduk di Tribun Murah