Hati-hati, Wacana Harga Mobil Terjun Bebas Jadi Kontraproduktif

Round-Up

Hati-hati, Wacana Harga Mobil Terjun Bebas Jadi Kontraproduktif

Rangga Rahadiansyah - detikOto
Jumat, 25 Sep 2020 08:16 WIB
Angka penjualan mobil di Indonesia turun drastis gegara pandemi COVID-19. Era new normal diharapkan dapat kembali membuat penjualan mobil di Indonesia bergeliat
Wacana relaksasi pajak mobil baru akan membuat harga mobil turun. Tapi hati-hati, wacana ini bisa jadi kontraproduktif. Foto: Pradita Utama
Jakarta -

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengusulkan agar mobil baru diberi relaksasi pajak. Usul Kemenperin yaitu pajak mobil baru nol persen setidaknya sampai bulan Desember 2020.

Cara ini dipercaya bisa membangkitkan industri otomotif yang punya multiplier effect. Sebab, di dalam industri otomotif sendiri, sebanyak 1,5 juta orang dipekerjakan. Dengan diberi relaksasi pajak mobil baru, dipercaya ekonomi Indonesia akan bergerak kembali.

Namun, pengamat otomotif Bebin Djuana menilai, perlu diperhatikan lagi pajak mana yang akan dinolkan. Jangan sampai negara malah kehilangan pendapatan dari industri otomotif.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kita kan perlu memahami, sebuah mobil itu kan memang sebagian besar, nyaris 50% dari harganya, itu adalah unsur pajak," kata Bebin kepada detikcom melalui sambungan telepon, Kamis (24/9/2020).

"Yang dimintakan keringanan penghapusan (pajak mobil baru) sampai akhir tahun itu pajak yang mana," sambungnya.

ADVERTISEMENT

Menurutnya, seandainya Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) yang dibebaskan, itu sudah lumayan membantu. Tapi kalau mengharapkan semua pajak dihapuskan, kata Bebin, "Rasanya seperti mimpi di siang bolong."

"Karena kan pemerintah tetap perlu pemasukan. Jadi usulkan, minta sih boleh-boleh saja tapi ya jangan kelewatan. Yang masih diterima akal sehat lah," sebutnya.

Tak Banyak Pengaruh

Bebin menyangsikan apakah cara pembebasan pajak mobil baru tersebut bisa mengubah kondisi.

"Kenapa saya katakan demikian, karena yang tipe kendaraan medium low, atau yang low class, ini kan justru yang marketnya sangat lemah, yang daya belinya sedang turun, jadi penjualannya mati suri. Yang masih bergerak walaupun sangat lambat itu yang medium up, mereka masih punya daya beli, istilahnya masih ada duitnya," kata Bebin saat dihubungi detikcom, Kamis (24/9/2020).

Sayangnya, pasar mobil menengah ke atas yang masih bisa bertahan saat ini tidak terlalu besar sumbangan penjualannya. Pasar otomotif di Indonesia, menurut Bebin, masih didominasi di segmen mobil Rp 200 juta ke bawah. Pembeli mobil di bawah Rp 200 juta itulah yang terdampak pandemi.

"Kalaupun ada yang diluluskan permohonan keringanan pajak (mobil baru jadi nol persen), juga tidak akan besar (peningkatan) volume (penjualan mobil)-nya. Tapi kalau dikatakan apakah tidak membantu? Ya membantu, tapi tidak akan besar," sebut Bebin.

"Karena toh yang akan terbantu ini middle up, bukan yang low class product. Karena yang low class ini kan bagian yang paling terdampak oleh pandemi ini. Yang masuk (kerja) hanya mungkin 2 minggu sebulan, yang pendapatannya dipotong ini dan itu, karena work from home segala macam," sambungnya.

Harusnya Mobil Niaga yang Dapat Relaksasi Pajak

Bebin Djuana bilang, sepertinya kurang adil jika relaksasi pajak itu hanya dikenakan pada mobil penumpang pribadi. Dia mengusulkan agar mobil niaga yang diberi relaksasi pajak.

"Karena seberapa urgent-nya kendaraan penumpang ini untuk masyarakat kalau dilihat secara totalitas. Tapi saya membayangkan ketika itu (relaksasi pajak) dilakukan untuk commercial car, jelas akan sangat membantu. Dan volume akan cukup signifikan," kata Bebin.

Sebab, Bebin menyebut, kendaraan komersial seperti mobil logistik masih dibutuhkan. Bahkan di tengah pandemi seperti saat ini, mobil pengantar barang banyak diperlukan.

"Anda juga pesan apa-apa online kok. Kan mesti ada yang nganterin," ujarnya.

Menurut Bebin, jika pajak mobil komersial seperti mobil pikap atau mobil boks bisa direlaksasi, maka itu akan menggerakkan ekonomi. Yang merasakan bukan cuma pemilik mobil, tapi juga pengguna jasa nantinya.

"Jadi yang nantinya jadi pikap, yang nantinya jadi mobil box, truk yang angkut barang-barang logistik itu pajaknya dibabat, itu akan terlihat sekali hasilnya. Karena yang terdampak oleh kebijakan itu rata. Mau kamu kelas atas, kelas medium atau kelas bawah yang memanfaatkan jasa logistik," jelasnya.

Malah Bikin Orang Ngerem Beli Mobil

Bebin mewanti-wanti, isu ini bisa menjadi kontraproduktif. Bukannya mendongkrak penjualan, isu yang belum jelas kepastiannya apakah diterima wacana pembebasan pajak mobil baru itu atau tidak, malah membuat orang menunda pembelian mobil baru.

"Jelas yang sudah merasa cukup tersedia budget-nya untuk melakukan pembelian akan ngerem. Jadi ketika isu ini beredar begitu cepat di masyarakat, tentunya perlu berita hasil akhirnya itu bagaimana, diterima atau nggak," kata Bebin.

Menurut Bebin, dengan wacana relaksasi pajak dan iming-iming harga mobil baru lebih miring, masyarakat yang tadinya sudah siap untuk membeli mobil malah menunda pembelian sampai harga mobil baru itu dipastikan turun.

"Mereka (konsumen yang sudah punya budget untuk beli mobil) akan beranggapan, 'Jangan (beli mobil dulu) deh, mungkin bulan depan keluar peraturan (terkait relaksasi pajak),'" ujar Bebin.

Bebin menilai, wacana pajak mobil baru nol persen lebih baik dipastikan secepatnya apakah diterima atau tidak. Dengan begitu, konsumen yang sudah siap secara finansial tetap bisa membeli mobil tanpa harus menunggu kejelasan relaksasi pajak.

"Isu yang seperti ini bisa jadi kontraproduktif, hati-hati. Daripada cuma sekadar isu (yang belum pasti-Red), lebih baik jadi sebuah kejutan. Masyarakat nggak tahu apa-apa, tahu-tahu ada pemberitahuan potongan pajak dan sebagainya," tutupnya.



Simak Video "Video: Taksi Terbang Bakal Mengudara di Indonesia, Segini Biaya Sewanya"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads