Kecelakaan antara kereta api dengan kendaraan bermotor di perlintasan sebidang terus terjadi. Pengendara harus paham bahwa kereta api tidak bisa melakukan pengereman mendadak.
Secara teknis, sistem pengereman pada kereta api tidak sama dengan kendaraan bermotor di jalan raya. Jarak pengereman kereta api yang memiliki bobot sangat berat pun cukup panjang.
"Berbeda dengan transportasi darat pada umumnya, kereta api memiliki karakteristik yang secara teknis tidak dapat dilakukan pengereman secara mendadak. Untuk itu, kami mengimbau masyarakat agar lebih waspada dan berhati-hati sebelum melewati perlintasan sebidang," ujar VP Public Relations KAI Joni Martinus dalam keterangan tertulisnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
KAI menjelaskan, ada beberapa faktor yang menyebabkan kereta api tidak dapat mengerem mendadak. Yang pertama terkait panjang dan berat rangkaian kereta api. Dijelaskan, semakin panjang dan berat rangkaiannya, jarak yang dibutuhkan kereta api untuk dapat benar-benar berhenti akan semakin panjang.
Di Indonesia, rata-rata 1 rangkaian kereta penumpang terdiri dari 8-12 kereta (gerbong) dengan bobot mencapai 600 ton, belum termasuk penumpang dan barang bawaannya. Dengan kondisi tersebut, maka akan dibutuhkan energi yang besar untuk membuat rangkaian kereta api berhenti.
Faktor kedua terkait sistem pengereman. Pengereman yang dipakai pada kereta api di Indonesia pada umumnya menggunakan sistem jenis rem udara. Cara kerjanya adalah dengan mengompresi udara dan disimpan hingga proses pengereman terjadi. Saat masinis mengaktifkan sistem pengereman, udara tadi akan didistribusikan melalui pipa kecil di sepanjang roda dan membuat friksi pada roda. Friksi ini yang akan membuat kereta berhenti.
Walaupun kereta api telah dilengkapi dengan rem darurat, rem ini tetap tidak bisa berhenti mendadak. Rem ini hanya menghasilkan lebih banyak energi dan tekanan udara yang lebih besar untuk menghentikan kereta lebih cepat.
Terkadang masinis memang melihat ada kendaraan yang menerobos palang kereta. Masinis yang telah melihat ada kendaraan yang menerobos palang kereta selanjutnya melakukan proses pengereman. Namun, kereta tetap membutuhkan jarak pengereman sampai benar-benar berhenti. Hal inilah yang menyebabkan kejadian tabrakan, apabila jarak pengereman tidak terpenuhi.
Adapun faktor yang berpengaruh pada jarak pengereman yaitu:
1. Kecepatan kereta api. Semakin tinggi kecepatan kereta api, maka semakin panjang jarak pengereman.
2. Kemiringan/lereng (gradient) jalan rel (datar, menurun, atau tanjakan).
3. Persentase pengereman yang diindikasikan dengan besarnya gaya rem.
4. Jenis kereta api (kereta penumpang/barang).
5. Jenis rem (blok komposit/blok besi cor).
6. Kondisi cuaca.
7. Dan berbagai faktor teknis lainnya.
Menurut Joni, rem pada rangkaian kereta api bekerja dengan tekanan udara. Sistem kinerja rem pada roda dihubungkan ke piston dan susunan silinder. Mekanisme yang mengurangi tekanan udara di kereta api akan memaksa rem mengunci dengan roda.
Jika tekanan dilepaskan secara tiba-tiba, maka akan menyebabkan pengereman yang tidak seragam, sehingga rem bekerja lebih dulu dari titik keluarnya udara. Pengereman yang tidak seragam dapat menyebabkan kereta atau gerbong tergelincir, terseret, bahkan terguling.
Sementara itu, pengamat transportasi Djoko Setijowarno, juga berpendapat bahwa kereta yang sedang melaju tidak bisa seketika berhenti. Berdasarkan uji coba, kereta dengan bobot antara 280 ton hingga 350 ton yang melaju dengan kecepatan 45 km per jam, membutuhkan jarak berhenti setelah pengereman sepanjang 130 meter. Jarak berhenti tersebut akan semakin menjauh jika kecepatan kereta lebih tinggi. Misalnya, kereta dengan bobot yang sama melaju 120 km per jam membutuhkan jarak berhenti sampai 860 meter.
(rgr/din)
Komentar Terbanyak
Selamat Tinggal Calo, Bikin SIM Wajib Ikut Ujian Lengkap
Naik Taksi Terbang di Indonesia, Harganya Murah Meriah
Kenapa Sih STNK Tak Berlaku Selamanya dan Harus Diperpanjang?