Pengamat Transportasi, Djoko Setijowarno membeberkan penyebab truk kelebihan muatan atau ODOL (Over Dimension and Over Loading) belum bisa menghilang dari jalanan di Indonesia. Faktornya beragam dari petugas yang kurang, oknum aparat, lemahnya pengawasan, hingga sanksi yang lemah.
"Di banyak negara, upaya menekan kendaraan barang ODOL tidak hanya penyempurnaan sistem dan teknologi, akan tetapi juga dibarengi penegakan hukum dengan sanksi pidana maupun denda yang cukup tinggi," buka Djoko dalam keterangannya, Minggu (22/8/2021).
Dia memaparkan dari hasil uji coba pemasangan weigh in motion (WIM) di jalan tol menyimpulkan jika truk ODOL kecepatannya rendah. Secara legalitas kecepatan di ruas tol antara 60-100 km per jam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Akan tetapi kenyataannya kecepatan di bawah itu tidak pernah ada tindakan hukum, meskipun data dari speed camera sudah bisa membuktikan sampai dengan plat tanda nomor kendaraan bermotornya," ucap dia.
Masalah maraknya truk ODOL juga disebabkan lantaran belum memadainya moda lain dalam pergerakan barang. Untuk menekan biaya logistik, banyak pelaku bisnis yang melebihkan muatan pada kendaraannya.
Lebih lanjut ia mengatakan kapasitas, lokasi dan teknologi yang digunakan pada fasilitas penimbangan kendaraan barang (jembatan timbang) kurang mengikuti perkembangan teknologi terkini.
"Dengan sistem seperti sekarang, masih membuka peluang untuk melakukan kecurangan dalam pengoperasian jembatan timbang," jelas Djoko.
"Belum lagi masih kerap terjadi desakan atau permintaan oknum aparat (kemungkinan menjadi pelindung perusahaan pemilik barang atau pengusaha pengusaha angkutan) terhadap petugas jembatan timbang ketika menemukan pelanggaran pada truk yang melanggar. Entah pelanggaran kelebihan muatan, kelebihan dimensi atau keduanya," beber dia.
Meskipun ia mengamin bahwa kecurangan pada jembatan timbang tidak sebesar di masa operasional ketika masih dikelola pemda.
Baca juga: Pengusaha Ngeluh Soal Larangan Truk Obesitas |
Truk ODOL berseliweran juga sebenarnya tidak laik jalan
Sebenarnya sistem uji laik jalan (kir) sudah dibenahi dengan sistem teknologi informasi dalam bentuk Buku Lulus Uji Elektronik (BLUE). Jika ketahuan masih ada kendaraan barang beroperasi dengan kondisi berdimensi lebih dan diloloskan dalam uji berkala, akan mudah ditemukan instansi mana yang mengeluarkan ijin tersebut.
"Namun di jalan raya masih bersliweran truk over dimension. Dapat dipastikan armada truk itu tidak memiliki surat uji kir yang resmi alias tidak dilakukan uji laik jalan. Kalau memalsukan surat uji laik jalan, risiko hukumnya lebih tinggi. Jadi, lebih memilih tidak dilakukan uji laik jalan. Namun untuk menindaknya tidaklah mudah, karena kewenangan PPNS Perhubungan terbatas di UPPKB," beber dia.
Pengamat menilai operasional UPPKB kekurangan petugas
Djoko mengungkapkan saat ini sudah dioperasikan 81 Unit Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB) yang dioperasikan dari 134 UPPKB yang diserahterimakan dari pemda ke Ditjenhubdat. Dalam satu unit UPPKB diperlukan 42 personil.
"Untuk mengoperasikan 81 unit UPPKB diperlukan 3.402 orang. Personil yang tersedia sekarang 473 orang dan masih kurang 2.929 orang. Hal jika masih menggunakan sistem yang ada," beber dia.
WIM (wheight in motion) disebut sebagai pengganti sejumlah petugas yang dibutuhkan. WIM adalah suatu alat timbang kendaraan bermotor dengan metode pengukuran bebas kendaraan yang dapat dilakukan ketika kendaraan dalam kondisi bergerak.
Lebih lanjut peranti ini dapat mengetahui berat kendaraan, kecepatan kendaraan, jumlah sumbu (axis), jarak per sumbu dan berat per sumbu. Antrian kendaraan masuk UPPKB dapat dieliminasi.
Alat ini memiliki sensor untuk mengetahui dimensi panjang, lebar, tinggi, jarak sunbu, julur depan, julur belakang dan konfigurasi sumbu. Ada speed counting and truck detector yang dapat melakukan penghitungan LHR, kecepatan kendaraan, dan merekam kendaraan yang tidak masuk UPPKB.
"Keterbatasan anggaran dapat menjadi kendala untuk tidak sesegera mungkin semua jalan dipasang ETLE dan semua UPPKB dapat dilengkapi dengan WIM. Untuk ruas-ruas jalan yang tetap dilakukan penimbangan dan penegakan hukum seperti biasanya," jelas dia.
"Sistem dan teknologi harus segera diterapkan untuk semua UPPKB, supaya tidak ada lagi transaksi antar orang. Memang dituntut komitmen dan kesadaran semua pihak untuk menuju zero truk ODOL. Sinergi antar Kementerian dan Lembaga sangat diperlukan," tambah Djoko.
Sanksi lemah
Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata mengatakan sanksi dengan besaran yang lebih tinggi dirasa efektif untuk menimbulkan efek jera. Padahal, kata Djoko, menyandur data Kementerian PUPR bahwa truk ODOL bisa menyebabkan kerugian negara hingga Rp 47 triliun biaya perawatan jalan nasional.
Penegakan hukum kelebihan muatan sudah tercantum dalam UU LLAJ (pasal 307) dikenakan sanksi pidana kurungan 2 bulan atau denda maksimal Rp 500 ribu. Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat ini juga menyarankan agar melakukan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tersebut.
"Menaikkan besaran sanksi denda harus dilakukan supaya memberikan efek jera pelakunya," ungkap Djoko.
"Membandingkan dengan praktek membendung truk ODOL di manca negara, sanksi denda cukup tinggi, sehingga dampaknya ada efek jera bagi yang melanggar untuk tidak mengulanginya lagi," sambung Djoko.
Dia mencontohkan di Korea Selatan, bagi pelanggar memanipulasi alat dalam kendaraan dan tidak mematuhi aturan beban, akan diberikan sanksi penjara satu tahun dan denda sekitar 10 juta Won atau 10.000 dollar AS yang setara dengan Rp 145 juta.
Sementara Thailand mengenakan denda mencapai 100.000 Baht atau 3.300 dollar AS atau setara Rp 47,8 juta.
(riar/lua)
Komentar Terbanyak
Jangan Kaget! Biaya Tes Psikologi SIM Naik, Sekarang Jadi Segini
Jangan Pernah Pasang Stiker Happy Family di Mobil, Pokoknya Jangan!
Naik Taksi Terbang di Indonesia, Harganya Murah Meriah