Truk ODOL (Over Dimension dan Over Loading) disebut bikin negara merugi hingga Rp 43 Triliun. Pengamat Transportasi, Djoko Setijowarno menilai sanksi yang diberikan belum memberikan efek jera, ia berharap adanya evaluasi pada kenaikan besaran denda bagi para pelanggar.
Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata mengatakan sanksi dengan besaran yang lebih tinggi dirasa efektif untuk menimbulkan efek jera. Padahal, kata Djoko, menyandur data Kementerian PUPR bahwa truk ODOL bisa menyebabkan kerugian negara hingga Rp 47 triliun biaya perawatan jalan nasional.
"Penegakan hukum kelebihan muatan sudah tercantum dalam UU LLAJ (pasal 307) dikenakan sanksi pidana kurungan 2 bulan atau denda maksimal Rp 500 ribu," ujar Djoko dalam keterangannya, Minggu (22/8/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat ini juga menyarankan agar melakukan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tersebut.
"Menaikkan besaran sanksi denda harus dilakukan supaya memberikan efek jera pelakunya," ungkap Djoko.
"Membandingkan dengan praktek membendung truk ODOL di manca negara, sanksi denda cukup tinggi, sehingga dampaknya ada efek jera bagi yang melanggar untuk tidak mengulanginya lagi," sambung Djoko.
Dia mencontohkan di Korea Selatan, bagi pelanggar memanipulasi alat dalam kendaraan dan tidak mematuhi aturan beban, akan diberikan sanksi penjara satu tahun dan denda sekitar 10 juta Won atau 10.000 dollar AS yang setara dengan Rp 145 juta.
Sementara Thailand mengenakan denda mencapai 100.000 Baht atau 3.300 dollar AS atau setara Rp 47,8 juta.
Djoko melanjutkan pelanggar muatan dan dimensi berlebih atau truk ODOL di jalan berdampak terhadap rusaknya infrastruktur jalan dan jembatan serta fasilitas pelabuhan penyeberangan. Sehingga kinerja keselamatan dan kelancaran lalu lintas menurun, biaya operasi kendaraan meningkat dan pada akhirnya akan berdampak terhadap kelancaran distribusi logistik nasional.
"Sudah banyak korban di jalan tol akibat tabrak belakang karena adanya perbedaan kecepatan dengan kendaraan pribadi atau bus. Saat ini angkutan barang menggunakan jalan masih menjadi primadona kegiatan logistik dengan porsi mencapai 90,4 persen," jelas dia.
(riar/lua)
Komentar Terbanyak
Jangan Pernah Pasang Stiker Happy Family di Mobil, Pokoknya Jangan!
Selamat Tinggal Calo, Bikin SIM Wajib Ikut Ujian Lengkap
Naik Taksi Terbang di Indonesia, Harganya Murah Meriah