Insentif Mobil Hybrid dan Listrik Masih Timpang, Harusnya Bisa Adil

Insentif Mobil Hybrid dan Listrik Masih Timpang, Harusnya Bisa Adil

M Luthfi Andika - detikOto
Rabu, 26 Nov 2025 19:36 WIB
Logo mobil hybrid.
Ilustrasi logo hybrid. Foto: Doc. ACEA
Jakarta -

Insentif yang diberikan untuk kendaraan ramah lingkungan dinilai belum adil. Soalnya, besaran insentif untuk mobil hybrid tak sebesar mobil listrik. Menurut peneliti senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Riyanto, seharusnya insentif buat mobil hybrid bisa setara dengan mobil listrik.

"Segmen ini perlu diberikan kebijakan yang lebih fair dengan basis reduksi emisi dan TKDN. Insentif untuk HEV (Hybrid Electric Vehicle) saat ini belum fair," kata Riyanto, dalam siaran resmi yang diterima detikOto.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dorongan terhadap insentif kendaraan hybrid juga menjadi relevan karena semakin banyak produsen yang telah memproduksi model hybrid di dalam negeri (lokal). Honda misalnya kini merakit HR-V e:HEV di pabriknya di Karawang. Selanjutnya ada, Wuling Indonesia memproduksi Almaz Hybrid di Bekasi.

Terbaru ada Toyota yang memproduksi Veloz hybrid di Pabrik Karawang dengan TKDN 80% lebih. Sebelumnya, Toyota Indonesia sudah memproduksi Toyota Kijang Innova Zenix HEV pada 2022 dan Toyota Yaris Cross HEV pada 2023 di pabrik Karawang Jawa Barat.

ADVERTISEMENT
Toyota Veloz Hybrid Q TSS ModellistaToyota Veloz Hybrid Q TSS Modellista Foto: Luthfi Anshori/detikOto

Kehadiran model-model hybrid produksi lokal ini, kata dia, telah menyerap ribuan tenaga kerja, mulai dari lini produksi, rantai pasok komponen, hingga sektor logistik dan penjualan. Aktivitas produksi hybrid yang terus meningkat ini berkontribusi langsung pada perputaran ekonomi nasional, terutama karena rantai pasoknya lebih panjang dibanding kendaraan impor utuh.

"Hal ini menjadi alasan kuat bagi pemerintah untuk memberikan insentif yang lebih berimbang, agar industri hybrid, yang sudah mengakar di dalam negeri, dapat terus berkembang dan memberikan dampak ekonomi yang lebih luas," kata Riyanto.

Dia memperkirakan prospek kendaraan hybrid pada 2026 lebih baik dibandingkan tahun ini, terutama setelah insentif untuk BEV berstatus impor utuh atau CBU (completely built-up) berakhir. Kondisi tersebut dinilai akan mendorong peningkatan permintaan terhadap kendaraan hybrid.

"Yang jelas tahun depan HEV akan lebih baik dari tahun ini, karena tahun ini BEV CBU yang penjualannya menggerus pasar BEV CKD dan juga HEV. Estimasi saya kalau HEV bisa 5% market sharenya. Beberapa pemain yang tadinya hanya menjual BEV akan menawarkan HEV, jadi akan banyak variasi model dari yang kecil sampai yang besar," ungkap Riyanto.

Lebih lanjut, Riyanto menilai bahwa kendaraan listrik murni dan hybrid akan memiliki segmentasi pasar yang berbeda. Pasar daerah cenderung akan lebih menerima kendaraan hybrid faktornya karena belum seluruh wilayah memiliki kesiapan dalam memfasilitasi BEV, terutama Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) sebagai ekosistem penting bagi pengoperasian BEV.

"Ya kalau BEV pasti konsumen di kota karena perlu SPKLU. Untuk hybrid perlu lebih banyak sosialisasi ke daerah terutama luar Jawa, banyak yang belum tahu hybrid," katanya.

Dia menambahkan, dengan berakhirnya insentif untuk BEV CBU, pasar kendaraan hybrid dan BEV produksi ataupun rakitan lokal diprediksi akan kembali menggeliat.

"Insentif BEV CBU akan berakhir. Dampaknya BEV CKD dan HEV akan meningkat pasarnya. Tentu saja industri HEV akan bergairah kembali," ujar Riyanto.

Sebagai catatan, saat ini mobil hybrid alias hybrid electric vehicle (HEV) mendapatkan insentif diskon pajak penjualan barang mewah (PPnBM) 3% yang akan habis pada akhir tahun. Insentif ini dinilai relatif jauh lebih kecil dibandingkan mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) yang mendapatkan insentif pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) 10% dan PPnBM 0% untuk produksi lokal.

Detikers, Sudah Bisa Pesan Wuling Almaz Hybrid di GIIAS LhoDetikers, Sudah Bisa Pesan Wuling Almaz Hybrid di GIIAS Lho Foto: Grandyos Zafna

BEV juga tidak dikenakan pajak daerah, yakni pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB). Alhasil, BEV rakitan lokal yang memenuhi syarat TKDN hanya membayar pajak 2%. Sementara, HEV tetap membayar PPN, BBN, dan PKB tarif normal dan kena opsen pajak.

Bahkan, BEV impor dalam skema tes pasar diberi insentif pembebasan bea masuk (BM) impor sebesar 50%, sehingga cukup kena pajak 12% dari harusnya 77%. Insentif ini akan habis akhir 2025.

Struktur pajak yang sangat timpang ini dinilai Riyanto, perlu dievaluasi demi membangkitkan industri otomotif, yang mencetak penurunan penjualan domestik sebesar 10,6% per Oktober 2025. Perluasan insentif ke mobil bermesin pembakaran internal (internal combustion engine/ICE) juga patut dipertimbangkan, karena masih mendominasi penjualan mobil domestik.

Kebijakan insentif untuk BEV pun banyak mendapat sorotan. Sehingga para pengamat menilai pemerintah perlu menyeimbangkan dukungan terhadap kendaraan hybrid yang memiliki kontribusi signifikan terhadap reduksi emisi dan efisiensi energi.




(lth/dry)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads