Di tengah menjamurnya mobil listrik di Indonesia, muncul masalah baru yaitu kesadaran penggunaan fasilitas umum SPKLU. Di media sosial, banyak keluhan dari sesama pengguna mobil listrik yang tidak bisa mengecas mobilnya lantaran ada mobil lain yang parkir di SPKLU tanpa mengecas.
Salah satu pengguna mobil listrik BYD menunggah momen ketika dirinya kesulitan saat akan mengecas mobilnya di SPKLU. Sebabnya, ada mobil listrik lain yang menumpang parkir di SPKLU tapi tidak ngecas mobil listriknya.
Kesadaran soal penggunaan fasilitas SPKLU semacam itu sudah banyak terjadi. Bahkan, ada grup Facebook bernama EV Charging Indonesia Wall Of Shame yang membahas kebiasaan pengguna mobil listrik yang meninggalkan mobilnya di SPKLU.
Tak cuma menumpang parkir di SPKLU tanpa mengecas, ada juga yang baterainya sudah 100 persen tapi mobilnya masih ada di SPKLU. Masalah semacam ini di Singapura justru sudah ada penanganannya.
Dikutip Asia One, salah satu pengguna mobil listrik di Singapura terkena denda 'idle fee' sebesar 20 dolar Singapura (Rp 240 ribuan). Soalnya, mobil listrik yang dikendarainya tidak segera dipindahkan ketika mobilnya sudah penuh dicas di SPKLU di Bandara Cangi. Menurut pengakuannya, dia telat kembali ke mobil sekitar satu jam setelah baterai mobil listriknya penuh. Di aplikasi tertera ada idle fee sebesar 50 sen dolar Singapura (Rp 6 ribuan) per menit.
Sejak Desember lalu, SP Mobility sebagai operator SPKLU di sana mengenakan sanksi kepada pengemudi yang tidak mencabut dan memindahkan kendaraannya dari SPKLU dalam masa tenggang 30 menit setelah sesi pengecasan berakhir. Jika diabaikan, maka akan dikendakan denda sebesar 50 sen dolar Singapura dengan batas maksimal 20 dolar Singapura setiap pelanggaran.
Kebijakan ini diimplementasikan di Bandara Changi dan 45 lokasi lainnya. Biaya berlaku antara pukul 07.00 hingga 22.30 setiap hari, kecuali di SPBU yang aturannya berlaku sepanjang hari.
Menurut Head of Mobility, Sustainable Energy Solutions SP Group Dean Cher mengatakan sanksi ini dikenakan untuk mencegah pemborosan dan mengurangi waktu tunggu, serta mendorong etika pengecasan kendaraan listrik. Cara ini juga dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan pengisi daya dan meningkatkan pengalaman pengisian daya untuk semua pengemudi kendaraan listrik.
Cara itu bisa saja diterapkan di Indonesia. Pengamat otomotif senior dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Pasaribu, mengatakan saat ini semua kendaraan listrik di Indonesia sudah terkoneksi dengan smartphone penggunanya. Jadi seharusnya, pemilik kendaraan listrik bisa mengetahui ketika baterai mobilnya sudah penuh. Unit pengisian di SPKLU juga memiliki data back-end yang dapat memantau secara realtime kondisi pengisian di setiap SPKLU serta siapa saja penggunanya.
"(Namun), fenomena penyalahgunaan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) menjadi masalah serius yang perlu segera diatasi," kata Yannes kepada detikOto, Senin (29/7/2024).
"Jadi kuncinya ada pada SOP pengelola dan produsen EV, mau diapakan jika memang benar terjadi pelanggaran tersebut," sambung Yannes.
Menurut Yannes, perlu ada penindakan tegas. Jika data membuktikan adanya penyalahgunaan SPKLU, beberapa tindakan dapat diambil.
"Misalnya, menetapkan waktu maksimal pengisian daya di SPKLU selama 2-3 jam dan memberikan denda bagi pengguna yang melanggar aturan, seperti memarkir kendaraan terlalu lama setelah mereka selesai mengisi daya setelah baterai EV-nya penuh. Selain itu, penerapan sistem booking untuk penggunaan SPKLU dapat membantu pengguna merencanakan waktu pengisian daya dengan lebih baik," sebut Yannes.
Simak Video "Video Vinfast Mau Bangun 100 Ribu SPKLU di Indonesia"
(rgr/din)