Serbuan kendaraan listrik asal China kini menjadi ancaman bagi pabrikan Eropa. Sebab merek China bisa memperlebar pasar dengan harga yang kompetitif.
Diberitakan Forbes, CEO Renault Luca de Meo yakin ancaman dari kendaraan listrik China terhadap pabrikan Eropa begitu mengerikan sehingga diperlukan solusi besar dari pemerintah.
Dia berharap bisa menerapkan "Airbus Industrie" yang baru--kerja sama hingga kebijakan politik negara Eropa hingga menjadi raksasa dirgantara. Airbus Industrie didirikan pada tahun 1970 untuk membantu Eropa bersaing dengan pemimpin pasar pesawat Boeing dari AS.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Uni Eropa telah memutuskan bahwa mobil listrik harus mencapai lebih dari 20% dari pasar mobil baru tahun ini dan menjadi sekitar 80% pada tahun 2030 dan 100% pada tahun 2035.
Masalah bagi Eropa adalah produsen China. MG di bawah group SAIC dan BYD, sudah lebih maju dalam membuat EV. Brand asal China itu bahkan bisa memangkas harga 30 persen lebih murah, menurut bank investasi UBS.
Tahun lalu China menjual lebih dari 350.000 sedan dan SUV di Eropa, terutama yang listrik, menurut konsultan mobil Prancis Inovev. MG memimpin dengan 239.000 unit.
De Meo menyinggung "Airbus Industires" dalam pidato di pameran mobil Geneva pada hari Senin, (26/2). Dia mengatakan pembuat mobil Eropa dapat bekerja sama untuk mengembangkan dan membangun mobil yang terjangkau.
"Kita harus kreatif untuk menemukan solusi," kata de Meo kepada wartawan, seperti yang dilaporkan oleh Automotive News Europe.
Renault meluncurkan Renault 5 di Geneva International Motor Show 2024, sebuah mobil listrik kecil, dengan harga mulai dari sekitar β¬25.000 atau sekitar Rp 424 jutaan, tidak mendekati harga BYD Seagull dan Wuling Binguo dari China.
De Meo mengatakan tantangannya adalah menciptakan rantai pasokan di Eropa yang mencakup baterai, motor listrik, dan elektronik, seperti yang telah dilakukan China dengan dukungan pemerintah.
"Tujuannya adalah untuk mendapatkan segala sesuatu di Eropa dengan harga yang kompetitif. Kita harus kreatif untuk menemukan solusi untuk tantangan membangun EV yang terjangkau di Eropa," kata de Meo.
Dia bilang pabrikan Eropa harus bergerak cepat. China bisa lebih unggul lantaran bisa membangun rantai pasok dari penambangan bahan baku, suku cadang, hingga jaringan pengisian. China juga lebih mudah beradaptasi dengan aturan.
"Kecepatan itu penting melawan China," katanya.
"Kita berada di dunia yang tidak pasti. Di masa lalu, dengan mobil pembakaran internal, Anda dapat meramalkan apa yang akan terjadi. Sekarang, jika Anda membutuhkan empat atau lima tahun untuk bereaksi, sudah terlambat," tambahnya lagi.
Analis otomotif asal Inggris, Dr Charles Tennant, mengatakan geliat mobil China itu perlu direspons lebih serius jika pabrikan Eropa tidak ingin tertinggal dari merek China soal pengembangan EV.
"Gagasan untuk merespons tantangan ini secara kolektif, Airbus-nya otomotif, masuk akal bagi pabrikan Eropa lama, terutama untuk menekan biaya, di mana biaya produksi mobil China lebih murah hingga 30% dan lebih dari 50% dari seluruh mobil listrik yang terjual secara global pada tahun 2023 dibuat oleh pemain baru yang lebih efisien," ujar Tennant.
(riar/rgr)
Komentar Terbanyak
Selamat Tinggal Calo, Bikin SIM Wajib Ikut Ujian Lengkap
Naik Taksi Terbang di Indonesia, Harganya Murah Meriah
Jangan Pernah Pasang Stiker Happy Family di Mobil, Pokoknya Jangan!