Polusi udara di Indonesia, khususnya kota-kota besar seperti di Jakarta masih tinggi. Menteri Lingkungan Hidup (LH) mengungkap biang kerok polusi udara yang tinggi.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengatakan, sumber polusi udara di Jakarta disumbang dari sektor transportasi, sekitar 32 persen sampai 41 persen. Sumbangan polusi udara dari sektor transportasi bahkan bisa meningkat hingga 57 persen pada musim kemarau.
Menurut Hanif, kontribusi terbesar dari masalah polusi udara ini adalah kualitas bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia. Soalnya, BBM di Indonesia masih memiliki sulfur yang tinggi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari udara yang tidak sehat di Jakarta, maka kontribusi utamanya ada di bahan bakar minyak kita. Hampir 90 persen BBM kita memiliki kandungan sulfur di atas 1.500 ppm. Padahal Euro IV hanya membolehkan 50 parts per million (ppm)," kata Hanif seperti dikutip CNBC Indonesia.
BBM dengan sulfur rendah di Indonesia saat ini masih terbatas. Belum banyak penggunaan BBM yang rendah sulfur.
"Apa yang memiliki kandunga sulfur yang rendah? Di antaranya untuk gasoil adalah Pertamina Dex. Ini boleh kita lihat kalau kita kemudian lihat jumlahnya itu hanya sedikit dari semua yang ada di pom-pom kita," ujarnya.
"Jadi BBM kita, kandungan sulfurnya di atas 1.500 ppm yang kemudian pada BBM setara Euro IV itu hanya boleh 50 ppm. Itu (BBM dengan sulfur rendah) ada di Pertamina Dex, kemudian Pertamax Turbo sama Pertamax (Green) RON 95. Di luar itu semua di atas 1.000 ppm kandungan sulufnrnya," ungkap Hanif.
Penggunaan BBM tinggi sulfur itu, lanjut Hanif, berdampak pada penurunan kualitas udara di Jakarta. Makanya, Hanif mendorong untuk konversi ke BBM rendah sulfur.
"Ini kita sudah berkali-kali menuntut keberanian kita untuk mengkonversi BBM yang tinggi sulfur menjadi BBM yang rendah sulfur," katanya.
(rgr/din)
Komentar Terbanyak
Begini Pengakuan Polisi Sopir Rantis yang Lindas Affan Kurniawan
Pajak Mobil Indonesia Dicap Paling Tinggi Sedunia
Bayangin Aja! Pajak Toyota Avanza Rp 150 Ribu, Nggak Ada Gesek 5 Tahun Sekali