Pemerintah sedang menggodok rencana untuk memberikan insentif kepada mobil hybrid. Pengamat menilai, jika rencana tersebut bisa terealisasi, maka akan memperkuat industri otomotif dalam negeri.
Sebagai informasi, saat ini harga mobil hybrid yang dijual di Indonesia kurang kompetitif jika dibandingkan dengan harga mobil hybrid yang dijual di negara jiran, Thailand.
"Di Thailand, mobil full hybrid itu (pajaknya) 11%, di Indonesia full hybrid itu 33%. Jadi cukup besar (perbedaannya). Kemudian kalau mobil PHEV (plug-in hybrid) di sana, pajaknya 11%, di kita (Indonesia) 30%. Tapi kalau di BEV (full electric), itu udah sama pajaknya, 1%," kata akademisi Institut Teknologi Bandung, Agus Purwadi, kepada wartawan di arena GIIAS 2024, ICE-BSD City, Tangerang, belum lama ini.
Agus menjelaskan, jika pemerintah memiliki target mengurangi emisi, maka semua opsi teknologi yang tersedia di pasaran harus dipakai. "Jadi kalau targetnya mengurangi ketergantungan BBM dan mengurangi emisi, semua opsi teknologi yang ada itu dikasih insentif, tapi di-value berdasarkan perannya. Jadi nggak sama (insentifnya), hybrid nggak sama dengan BEV, plug-in hybrid juga nggak sama dengan BEV," tambah Agus.
Menurut Agus, pemerintah harus mendorong mobil hybrid yang sudah diproduksi lokal agar harganya kompetitif di pasaran. "Kalau yang (produk) hybrid-nya impor, ya itu harus dibedakan. Jadi (insentif itu) nggak sembarangan juga. Jadi harus dilihat tujuannya, untuk menguatkan industri lokal kan," jelasnya lagi.
"Maka itu industri otomotif itu di mana-mana adalah industri yang strategis. Kenapa? Karena dia (industri) high-tech. Kemudian juga supply chain-nya banyak dan dia jadi tolok ukur industrialisasi manufaktur yang tinggi. Makanya kayak di Amerika Serikat, walaupun (perusahaan otomotif itu) collapse itu disuntik, Jepang sama, China sama, Thailand juga sama. Nah Indonesia yang sudah ada harusnya juga jangan ditinggalkan. Kan buktinya sudah bisa ekspor (mobil) ke-90 negara, artinya kompetitif. Tinggal masalah harga, itu berarti harga dasar ditambah insentif perpajakan yang berlaku, nah itu lah yang bisa di-adjust," ungkap Agus.
Diberitakan sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI, Airlangga Hartarto, dalam pemberitaan detikOto pada 25 Mei 2024 memastikan, pemerintah tengah menggodok aturan terkait insentif mobil hybrid. Airlangga menjelaskan, insentif tersebut berupa pajak pertambahan nilai (PPN) ditanggung pemerintah (DTP).
Saat ini, PKB (Pajak Kendaraan Bermotor) dan BBNKB (Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor) mobil hybrid sama seperti mobil bermesin pembakaran internal, yakni 12,5% serta 1,75%, sehingga totalnya mencapai 14,25%. Selain itu, juga masih dikenakan tarif PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah) antara 6%-12%.
Sementara mobil listrik berbasis baterai diganjar PPnBM, PKB, dan BBNKB 0%. Selain itu, kendaraan tersebut mendapatkan diskon pajak pertambahan nilai (PPN) 10% kini menjadi 1% dari yang semula 11%.
Simak Video "Lihat Langsung Suzuki Fronx: Gaya ala SUV Coupe, Sudah Hybrid!"
(lua/dry)