Menurut dirinya tujuan perluasan larangan motor melintas di jalan protokol untuk bisa mengatasi kemacetan dan memaksa warga menggunakan angkutan umum dianggap tidak mendasar. Selain itu, rencana ini juga dianggap diskriminatif karena hanya melarang sepeda motor saja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Fahira menambahkan selain digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah, pajak yang dibayarkan para pemilik kendaraan bermotor termasuk pemilik sepeda motor juga menjadi salah satu sumber dana bagi negara untuk pembangunan dan pemeliharaan jalan serta untuk peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
"Mereka ikut bayar pajak untuk bangun dan memelihara jalan, tetapi akses mereka melintasi jalan yang ikut mereka bangun dibatasi, inikan tidak adil. Poinnya, selama transportasi umum kita belum berkualitas (mudah diakses dan murah) jangan persulit motor melintasi jalan," kata Fahira.
Selain itu, alasan yang selalu menjadi pembenaran bahwa pembatasan motor melintasi jalan-jalan protokol adalah solusi efektif mengurai kemacetan. Serta memaksa warga Jakarta untuk menggunakan transportasi umum sama sekali mengada-ada, dan terlalu menyederhanakan kompleksitas masalah lalu lintas dan kemacetan di Jakarta.
Secara tidak langsung, lanjut Fahira, para pengambil kebijakan di Jakarta ini ingin menyampaikan bahwa motor adalah biang kesemrawutan dan kemecetan dan sangat percaya diri bahwa transportasi umum Jakarta sudah baik.
"Apa Medan Merdeka Barat hingga Bundaran HI sekarang sudah tidak macet? Apa transportasi umum di Jakarta sudah sepenuhnya terintegrasi? Beri dulu warga alternatif yang memudahkan mereka beraktivitas di jalan, baru buat kebijakan. Jangan terbalik," pungkas Fahira. (lth/ddn)
Komentar Terbanyak
Jangan Kaget! Biaya Tes Psikologi SIM Naik, Sekarang Jadi Segini
Jangan Pernah Pasang Stiker Happy Family di Mobil, Pokoknya Jangan!
Naik Taksi Terbang di Indonesia, Harganya Murah Meriah