Motor listrik subsidi dari pemerintah masih belum begitu dilirik oleh masyarakat. Banyak yang menilai harganya masih terlalu tinggi untuk dompet mereka. Akan tetapi, baru-baru ini muncul wacana dan seruan dari pelaku otomotif untuk menaikkan nominal subsidi sebagai solusi terhambatnya pertumbuhan.
Tenggono Chuandra Phoa selaku Sekertaris Jenderal (Sekjen) Perkumpulan Industri Kendaraan Listrik Indonesia (Periklindo) menilai perlu adanya penambahan subsidi untuk pembelian motor listrik baru supaya permintaannya bisa meningkat sesuai dengan harapan pemerintah. Kini, kendaraan tersebut mendapat potongan harga Rp 7 juta, namun dia berharap nominalnya bisa ditambah seperti konversi.
"Kalau (subsidi motor listrik) bisa lebih (dari Rp 7 juta), ya bagus. Kan sebagai pengusaha, (produsen) ya happy-happy aja dengan penambahan subsidi," kata Tenggono saat ditemui langsung di Kemayoran bulan November lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekadar informasi, hingga saat ini, Kamis (14/12), tercatat dalam laman Sistem Informasi Bantuan Pembelian Kendaraan Bermotor Roda Dua (SISAPIRa), baru ada 8.683 motor listrik subsidi tersalurkan. Sementara itu, 6.385 masih dalam proses pendaftaran dan 2.519 lainnya terverifikasi.
Masih ada 180 ribuan kuota motor listrik subsidi lagi yang bisa digunakan masyarakat. Mengacu pada target pemerintah sejumlah 200.000 unit tersalurkan untuk tahun ini, jelas kuota yang masih tersisa begitu banyak sangat memprihatinkan. Secara matematika, angka tersebut bahkan tidak mencapai seperempatnya.
Menanggapi hal ini, pengamat otomotif Yannes Pasaribu mengatakan bahwa kalau tujuannya membuat motor listrik lebih menarik di mata masyarakat, maka menaikkan subsidi hingga Rp 15 juta bisa menjadi solusi. Sebab, menurutnya, harga yang murah bisa jadi alat pemicu buat masyarakat melakukan penetrasi pasar. Namun, perlu diingat ada risiko keuangan yang perlu ditambal pemerintah jika menggunakan dana sebesar itu.
"Peningkatan nominal subsidi menjadi Rp 15 juta sebenarnya yang ideal dalam rangka membuat motor listrik lebih terjangkau. Namun, hal ini juga memerlukan pertimbangan yang serius terkait dengan dampak keuangan bagi pemerintah," kata Yannes pada Selasa (12/12).
"Karena ide awalnya adalah mengambil dana dari pengurangan perlahan slot anggaran subsidi BBM yang Rp 500 miliar tersebut, tentunya langkah ini tidak boleh dijalankan secara parsial per kementerian, ini harus dilakukan secara terkoordinasi. Langkah ini juga harus disertai dengan perencanaan keuangan yang matang agar tetap berkelanjutan. Lalu, penting juga untuk memantau dan mengevaluasi efektivitas program subsidi yang ada," jelasnya.
Yannes menilai hambatan utama program subsidi ada pada kurangnya informasi kepada publik. Seperti misalnya, penolakan pengajuan subsidi, masyarakat hanya mendapatkan pemberitahuan pengajuannya ditolak tanpa mendapatkan alasan yang jelas. Tentu hal-hal 'minor' seperti ini bisa membuat masyarakat kecewa.
"Salah satu kendala utama adalah penolakan pengajuan subsidi oleh masyarakat. Beberapa pengajuan bisa ditolak tanpa alasan yang jelas, membuat masyarakat merasa frustrasi dan kecewa. Ini mengakibatkan kurangnya minat dan partisipasi dalam program subsidi," sebut Yannes.
Lebih lanjut, akademisi dari ITB ini juga mengutarakan beberapa kendala yang dialami oleh dealer-dealer kendaraan listrik dalam program subsidi. Dikatakan bahwa dalam skenario terburuk, dealer-dealer ini mungkin harus menalangi subsidi.
"Dalam beberapa kasus, dealer kendaraan listrik mungkin kesulitan menalangi subsidi ini, terutama jika jumlahnya besar. Hal ini bisa berdampak pada cashflow dealer dan membuat mereka enggan untuk mendukung program ini. Program subsidi ini memerlukan kerja sama antara berbagai pihak, termasuk produsen kendaraan (APM) dan dealer. Tanpa sistem kerja sama yang kondusif, beban subsidi ini bisa jadi terlalu berat bagi dealer, sehingga menghambat pelaksanaan program ini," ujarnya.
Yannes berpendapat pemerintah perlu segera memperbaiki program subsidi. Mulai dari memberikan klarifikasi yang jelas mengenai alasan penolakan pengajuan subsidi hingga memastikan adanya kerja sama yang baik antara APM dengan dealer.
(rgr/din)
Komentar Terbanyak
Selamat Tinggal Calo, Bikin SIM Wajib Ikut Ujian Lengkap
Naik Taksi Terbang di Indonesia, Harganya Murah Meriah
Jangan Pernah Pasang Stiker Happy Family di Mobil, Pokoknya Jangan!