Toyota punya alternatif untuk mengurangi emisi karbon. Tak hanya mobil elektrifikasi jenis Battery Electric Vehicles (BEV), ada opsi lain yang menurut Toyota bisa dikembangkan di Indonesia, yakni mesin yang bisa menenggak bahan bakar nabati.
PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) sedang mengkaji penggunaan bioetanol pada mobil hybrid terlaris di Indonesia, Innova Zenix.
Mobil dengan mesin berbahan bakar energi terbarukan, biofuel itu bisa bisa membantu penurunan emisi. Ditambah kendaraan semacam ini cocok dengan Indonesia yang kaya dengan minyak nabati. Toyota sudah memiliki teknologi mesin yang bisa menenggak flex fuel etanol E100.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Zenix yang kita pelajari flexy engine, bagaimana nanti dia bisa menggunakan etanol. Hybrid dan etanol itu kan emisinya sudah sama dengan BEV," terang Wakil Presiden PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, Bob Azzam di Karawang, Jawa Barat beberapa waktu yang lalu.
Dua unit mobil yang bisa menenggak bahan bakar nabati ialah Toyota Fortuner dan Corolla Cross Hybrid. Keduanya sudah mendapat cap flexy fuel, bahkan bisa 100 persen.
"Sementara kita sudah ada flexy engine untuk biosolar kemudian juga sudah punya bioetanol, sekarang BEV. Jadi masih dipelajari teknologi ke depannya, misalnya plug in hybrid, kemudian 100 persen etanol. Kita juga punya 100 persen etanol, nanti kita pelajari hybrid dengan etanol itu kan emisinya juga nol," kata Bob.
Bob menambahkan energi biomassa punya potensi di masing-masing daerah Indonesia untuk dikembangkan menjadi energi baru terbarukan. Sebab transisi energi punya karakteristik yang unik sesuai dengan wilayah, basis ekonomi, dan potensi sumber daya potensial yang tersedia.
"Ke depan kita juga melihat selain BEV nikel, biomassa itu juga merupakan suatu alternatif energi kita ke depan. Karena masing-masing wilayah itu kan punya typically sumber energi sendiri. Misalnya di Sumatera punya sawit, cangkang sawit bisa dikonversi etanol. Kemudian kita juga punya molasses yang ada di Jawa, yang dari pabrik gula. Itu juga bisa dikonversi dari etanol," tambahnya lagi.
Pola transisi energi yang dibayangkan TMMIN bukan sekadar memperbesar kapasitas pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) tapi juga melibatkan wilayah yang punya potensi terkait biomassa.
Bahkan tidak menutup kemungkinan, biomassa bisa menjadi hidrogen yang dapat dijadikan pengganti BBM di banyak sektor. Tidak hanya untuk transportasi ringan seperti halnya mobil dan motor.
"Kalau masing-masing daerah bisa mengembangkan biomassa daerahnya masing-masing, kan kita bisa motong ongkos logistik bahan bakar. Masuk ke Jakarta, kemudian redistribusi lagi ke Indonesia. Itu kan biaya logistiknya mahal sekali, dan biaya logistiknya nanti harus dirata-ratain masuk ke biaya bahan bakar. Coba bayangkan masing-masing daerah itu bisa mengembangkan biaya bahan bakarnya sendiri-sendiri, sehingga kita bisa memotong cost of logistic," ujar Bob.
"Salah satu yang kita lihat sebagai intermediasi itu hidrogen, karena dari biomass itu bisa diubah jadi hidrogen. Dan hidrogen bisa digunakan di kendaraan, bahkan bisa dikembangkan jadi pembangkit listrik," jelas dia lagi.
(riar/lth)
Komentar Terbanyak
Punya Duit Rp 190 Jutaan: Pilih BYD Atto 1, Agya, Brio Satya, atau Ayla?
Konvoi Moge Terobos Jalur Busway Ditilang Semua, Segini Besar Dendanya
Banyak Beredar di Jalan Raya, Emang Boleh Motor Tak Pakai Pelat Belakang?