Mobil Bensin Diusulkan Kena Cukai... Jika Karbonnya Tinggi

Mobil Bensin Diusulkan Kena Cukai... Jika Karbonnya Tinggi

Rangga Rahadiansyah - detikOto
Jumat, 05 Agu 2022 13:35 WIB
PT Hyundai Motor Indonesia hari ini memperkenalkan Ioniq 5 dalam ajang IIMS 2022. Ini merupakan mobil listrik murni atau battery electric vehicles (BEV) pertama buatan Indonesia.
Harga mobil listrik masih mahal. Ini saran biar mobil listrik bisa murah (Foto: Agung Pambudhy/detikcom)
Jakarta -

Mobil listrik di Indonesia masih belum banyak diterima masyarakat. Penyebabnya, harga mobil listrik masih mahal dibanding kendaraan konvensional.

Berdasarkan data yang dipaparkan Ahmad Ali Rifan, Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, penjualan kendaraan listrik di Indonesia masih relatif kecil. Mobil listrik hanya memiliki pangsa pasar 0,4%. Tahun 2021 lalu, penjualan mobil listrik mencapai 3.193 unit, naik 3 kali lipat tapi masih kecil dibandingkan kendaraan konvensional.

"Dibutuhkan pertumbuhan sekitar 80% antara 2022-2030 untuk mencapai target pemerintah 600 ribu unit pada 2030," ujar Ali dalam diskusi yang diadakan Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Ali, masih ada beberapa hambatan kendaraan listrik di Indonesia. Utamanya soal harganya yang relatif mahal untuk saat ini.

"Harga mobil listrik tidak terjangkau 95% kelompok pembeli kendaraan bermotor. Tingginya harga mobil listrik membatasi pangsa pasar 5% konsumen kedaraan bermotor di Indonesia," papar Ali.

ADVERTISEMENT

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin, memberikan rekomendasi agar mobil listrik diterima masyarakat Indonesia sehingga lingkungan jadi lebih bersih. Pria yang akrab disapa Puput itu menyarankan, Pemerintah menetapkan standar karbon untuk memberikan disinsentif bagi yang tidak memenuhi standar dan insentif bagi kendaraan yang di bawah standar karbon.

"Katakan untuk kendaraan 2.000 cc karbon maksimal hanya boleh 118 gr/km. Kalau tidak memenuhi standar tetap boleh diproduksi tetapi nanti terkena pecut, fiscal disincentive, kenain cukai. Setiap kelebihan 1 gr, akan dikalikan dengan nilai teknologi penurunan karbon pada kendaraan sehingga nanti akan ada jumlah cukai, di mana cukai ini akan ditambahkan, produsen kendaraan bermotor akan membebankan ke konsumen. Sehingga nanti harga jual mobil berkarbon tinggi akan lebih mahal," saran Puput.

"Tapi sebaliknya, yang memenuhi standar, katakan EV yang setara 135 kW powernya, kalau dikorelasi kurang lebih 2.000 cc, dia paling hanya sekitar 85 g/km. Jadi bisa di bawah standar. Insentifnya, setiap gram di bawah standar itu akan dikalikan dengan teknologi penurunan emisi karbon, dan diberikan sebagai insentif. Dengan demikian, total selling price dari electric vehicle karena low carbon akan lebih murah di pasaran," sambugnnya.

Mekanisme seperti itu menurut Puput akan membuat masyarakat lebih melirik kendaraan listrik. Jika masyarakat banyak yang tertarik dengan mobil listrik, otomatis industri otomotif juga akan berbondong-bondong memproduksi kendaraan rendah karbon.

"Kenapa market penetrasi (kendaraan listrik) masih gagal, karena belum ada policy yang seperti itu," ucap Puput.




(rgr/din)

Hide Ads