Relaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk setiap pembelian mobil baru diharapkan mampu membangkitkan industri otomotif Indonesia. Tapi yakinkah relaksasi PPnBM akan meningkatkan penjualan?
Ketua Umum Gaikindo, Yohannes Nangoi dalam program D'Rooftalk mengakui dirinya juga tidak mengetahui apakah kebijakan relaksasi PPnBM bisa meningkatkan penjualan. Namun berkaca pada apa yang terjadi di Thailand, relaksasi panjak bisa menggairahkan pasar otomotif.
"Kalau ditanya PPnBM bisa meningkatkan penjualan atau tidak, saya juga tidak tahu. Tapi yang pasti di Thailand PPnBM dibebaskan penjualan normal (kembali normal), di Malaysia kembali normal, di Jerman naik (penjualan naik) dan di beberapa negara lain juga naik (saat pajak ada relaksasi pajak). Untuk itu kami mengajukan sejak tahun lalu, kalau pemerintah menargetkan dari naik 52 ribu ke 65 ribu jadi masih memungkinkan," kata Yohannes.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tahun ini saya targetkan penjualan akan mencapai 750 ribu unit, kalau bagi 12 bulan kira-kira 65 ribu unit (per bulan), saya rasa cukup bagus walaupun masih terseok-seok. Tapi paling enggak para investor dan pemilik perusahaan masih yakin otomotif Indonesia masih bisa pulih lebih singkat, yang mengkhawatirkan jangan sampai merek tertentu menilai market Indonesia jelek, jadi tidak perlu memiliki pabrik di Indonesia jadi tutup dulu sementara," Yohannes menambahkan.
Yohannes kembali menegaskan relaksasi pajak ini merupakan indikator penting untuk industri otomotif di Indonesia.
"Kenapa ini sangat penting? Kapasitas produksi kita itu 2,4 juta unit per tahun, tahun lalu kita hanya bisa menjual 530.000 unit karena tertolong Januari-Februari yang masih dalam keadaan normal, kalau dipotong kira-kira kita jualan hanya jual 400 ribu (domestik), ekspor 200 ribu, artinya kita hanya produksi 600 ribu. Kalau 600 ribu unit dengan kapasitas 2,4 juta itu hanya 25 persen. Pemerintah bilang jangan ada PHK dan kita tidak melakukan PHK, hanya pegawai kontrak dan outsourcing tidak kita lanjutkan lagi, yang paling mengerikan adalah anggap merek A menilai market di Indonesia kok kecil sekali ya, jadi saya rugi punya pabrik di Indonesia," kata Yohannes.
![]() |
"Sementara pabrik di Indonesia saya tutup dulu dan kebutuhan dalam negeri saya datangkan dari luar negeri dahulu dari Thailand, Malaysia atau Vietnam, karena tidak ada biaya masuk lagi akibat Asian Free Agreement, jadi hanya ongkos angkut saja yang berbeda harga tidak berbeda jauh. ini yang mengakibatkan kalau seandainya sudah normal (bebas dari COVID-19), belum tentu si merek A akan membuka pabriknya kembali dan mereka akan bilang sudah saya besarkan kapasitas di Thailand, Malaysia atau Vietnam," ujarnya.
Jika hal tersebut terjadi, lanjut Yohannes, akan mematikan industri otomotif Indonesia. "Akhirnya kita punya industri mati, kebutuhan domestik kita impor, ekspor akan mati. Tolong diingat ada 1,5 juta pegawai di situ, ada devisa yang kita hasilkan, dengan mematikan industri otomotif devisa kita akan mati," tutup Yohannes.
(lth/din)
Komentar Terbanyak
Jangan Pernah Pasang Stiker Happy Family di Mobil, Pokoknya Jangan!
Naik Taksi Terbang di Indonesia, Harganya Murah Meriah
Kenapa Sih STNK Tak Berlaku Selamanya dan Harus Diperpanjang?