Tak Bisa Diberantas Secara Instan, Ini Akar Masalah Truk ODOL di Indonesia

Tak Bisa Diberantas Secara Instan, Ini Akar Masalah Truk ODOL di Indonesia

Luthfi Anshori - detikOto
Senin, 07 Jul 2025 11:49 WIB
Truk melintas di Tol Lingkar Luar Jakarta (JORR), Jakarta, Senin (16/6/2025). Pemerintah menargetkan aturan zero obesitas atau over dimension over loading (ODOL) atau truk obesitas berlaku paling lambat 2026. Salah satu langkah awal, yakni mengawasi pergerakan truk obesitas agar tidak melakukan pelanggaran hukum di jalan.
Ilustrasi truk ODOL (kanan). Foto: Andhika Prasetia
Jakarta -

Kepolisian Republik Indonesia sedang gencar-gencarnya melakukan razia terhadap truk yang kelebihan dimensi dan muatan alias truk ODOL (Over Dimension Over Loading). Meski tujuannya baik, penertiban truk ODOL tidak bisa dilakukan secara instan lantaran melibatkan berbagai pihak dan banyak kepentingan. Ini akar masalah truk ODOL.

Seperti dijelaskan pemerhati transportasi Muhammad Akbar, penertiban truk ODOL tak bisa dilakukan secara sekaligus. Perlu pendekatan bertahap yang mempertimbangkan karakteristik setiap komoditas, struktur biaya logistik, serta dampaknya terhadap stabilitas harga barang dan tingkat inflasi.

"Tanpa strategi berbasis data komoditas yang matang, upaya penegakan hukum justru berisiko menimbulkan gejolak ekonomi dan juga memperlebar ketimpangan di sektor transportasi barang," bilang Akbar dalam keterangan resminya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Akbar menambahkan, masalah truk ODOl bukan sekadar soal sopir yang melanggar aturan, atau lemahnya pengawasan di jalan raya. Masalah sesungguhnya berakar sistem persaingan usaha di sektor logistik yang terlalu liberal, persaingan bebas, dan dibiarkan berjalan tanpa kendali.

ADVERTISEMENT

"Dalam kondisi seperti ini, tarif angkutan barang bergerak bebas tanpa batas bawah dan tanpa regulasi yang mampu menjaga iklim persaingan tetap sehat," kata Akbar lagi.

Di tengah situasi pasar yang begitu kompetitif dan tanpa batas tarif yang wajar, praktik banting harga menjadi hal yang lumrah. Pemilik barang tentu akan memilih penyedia jasa angkutan paling murah dan operator angkutan pun terpaksa menerima tarif murah demi tetap dapat muatan. Karena biaya operasional sulit ditekan lagi dan tekanan margin keuntungan yang sangat tipis, satu-satunya cara bertahan yang dianggap realistis adalah menambah muatan melebihi kapasitas kendaraan.

"Pelanggaran ini bukan lahir dari niat melawan hukum, melainkan dari tekanan sistemik, yang memaksa para pelaku usaha mencari celah untuk bertahan. Ketika tidak ada perlindungan harga dan tidak ada insentif untuk taat aturan, ODOL pun berubah menjadi solusi diam-diam yang diterima sebagai kelaziman-meski jelas menyalahi hukum," sambung Akbar.

Sayangnya, kata Akbar, penanganan truk ODOL selama ini hanya menonjolkan pendekatan penegakan hukum di lapangan, tanpa benar-benar menyentuh akar persoalan ekonominya. Razia dilakukan, sanksi dijatuhkan, tetapi yang disasar umumnya hanya sopir atau operator kecil. Sementara itu, pemilik barang, pemilik armada, atau sistem tarif yang mendorong terjadinya pelanggaran justru luput dari pengawasan. Akibatnya, penindakan terlihat tegas, tapi dampaknya tidak menyentuh jantung masalah.

"Kita sibuk menegakkan hukum di hilir, tapi abai membenahi regulasi di hulu, ibarat kata, sibuk menebang ranting-ranting masalah di hilir, tapi lupa mencabut akar persoalan di hulu," sambung Akbar.

Menegakkan Aturan ODOL di Bawah Bayang-Bayang Inflasi

Penanganan truk ODOL sering kali terhenti bukan karena lemahnya komitmen hukum, melainkan karena kekhawatiran pemerintah terhadap dampak ekonominya. Penegakan aturan secara ketat akan langsung menurunkan kapasitas angkut truk, yang kemudian mendorong kenaikan ongkos kirim dan biaya logistik secara keseluruhan. Dalam situasi ini, kenaikan harga barang di pasar menjadi konsekuensi yang sulit dihindari.

"Ketakutan terhadap efek domino inilah yang membuat pemerintah cenderung berhati-hati, bahkan menahan diri untuk bertindak tegas. Bukan karena takut pada pelaku pelanggaran, tetapi karena khawatir penertiban serentak justru akan memicu inflasi dan mengguncang harga barang pokok. Risiko ini tentu tidak diinginkan siapa pun, terutama saat pemerintah tengah berupaya menjaga stabilitas harga dan daya beli masyarakat," ucap Akbar.

Situasi ini menciptakan dilema kebijakan. Di satu sisi, pemerintah berkepentingan menegakkan aturan demi keselamatan pengguna jalan dan demi menjaga kelayakan dan usia teknis jalan. Di sisi lain, ada tekanan kuat untuk menjaga stabilitas harga dan kelancaran distribusi barang. Kekhawatiran semacam ini bukan tanpa alasan, terutama di tengah sistem logistik nasional yang belum efisien. Bahkan di tingkat pelaksana, kerap muncul pertanyaan praktis: bagaimana jika penegakan hukum terlalu ketat dan justru menyebabkan lonjakan harga sembako atau bahan bangunan?

"Inilah paradoks dalam penanganan ODOL, membiarkan pelanggaran berarti merelakan jalan rusak dan keselamatan terancam, tapi menertibkan secara serentak dan terlalu ketat juga bisa menimbulkan gejolak ekonomi, inflasi. Karena itu, solusinya bukan dengan razia besar-besaran di lapangan, melainkan merancang penegakan hukum yang berbasis data komoditas-dilakukan secara bertahap, selektif, dan disesuaikan dengan karakter serta sensitivitas tiap jenis barang yang diangkut," ungkap Akbar.




(lua/din)

Hide Ads