Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana untuk menerapkan jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP). Namun, penerapan ERP nantinya diharapkan tidak cuma memindahkan kemacetan ke jalan lainnya.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jakarta Yusa Cahya Permana berpendapat, pendekatan ERP seharusnya tidak dilakukan secara parsial per koridor, melainkan secara komprehensif berbasis kawasan yang sudah terlayani angkutan umum massal.
"Secara ideal, ERP sepatutnya diterapkan melingkupi sebuah kawasan dan bukan berupa koridor," kata Yusa dalam keterangan tertulisnya, dikutip Senin (21/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebab, menurut Yusa, pendekatan koridor dikhawatirkan hanya akan memindahkan beban lalu lintas ke ruas jalan alternatif di sekitar koridor tersebut, tanpa mengurangi jumlah kendaraan secara keseluruhan. Alhasil, ruas jalan alternatif yang tidak dikenakan ERP malah tambah macet. Karena itu, pendekatan kawasan lebih menjanjikan dalam hal efektivitas dan keberlanjutan.
Namun jika ERP tetap diawali dengan skema koridor, maka perlu dikombinasikan dengan strategi manajemen kebutuhan transportasi lain. Misalnya, melalui integrasi dengan Intelligent Traffic Control System (ITCS) untuk mengelola distribusi lalu lintas di luar koridor ERP, serta penerapan tilang elektronik atau Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) untuk menjaga kedisiplinan lalu lintas di kawasan yang belum terkena pungutan.
"Penerapan ERP berbasis koridor sepatutnya diposisikan sebagai bagian dari langkah awal menuju sistem berbasis kawasan, agar tidak terjadi pelimpahan volume lalu lintas yang justru memperburuk kemacetan di titik lain," ujar Yusa.
Menurutnya, ERP bukan sekadar teknologi, bukan pula semata pungutan. ERP adalah refleksi keberanian politik untuk menata ulang hak ruang, mengembalikan jalan kepada yang lebih banyak: pejalan kaki, pesepeda, pengguna angkutan umum, dan masyarakat kecil yang selama ini kehilangan ruang hidupnya oleh ekspansi mobil pribadi.
ERP di berbagai belahan dunia telah berevolusi dengan berbagai teknologi: dari sistem gantri fisik seperti di Singapura yang kini beralih ke ERP 2.0 berbasis GNSS (Global Navigation Satellite System), kamera ANPR (Automatic Number Plate Recognition) seperti di London dan Milan, hingga tag RFID seperti di Seoul. Masing-masing memiliki kelebihan, kekurangan, serta tingkat kompleksitas sistem yang berbeda.
"Karena itu, pemilihan teknologi ERP Jakarta menjadi sangat krusial. Ini bukan sekadar soal pengadaan, tetapi soal keberlanjutan kebijakan. Teknologi yang dipilih akan menentukan kemudahan integrasi dengan sistem parkir, tarif berbasis waktu dan lokasi, hingga transparansi pelaporan publik. Oleh karena itu, akan lebih bijak apabila pemilihan teknologi dilakukan oleh lembaga otoritatif, seperti Kementerian Perhubungan atau Kominfo, agar terhindar dari salah tafsir hukum dan risiko etik yang kerap menyertai proyek teknologi bernilai besar," demikian dikutip dari siaran pers MTI Jakarta.
(rgr/din)
Komentar Terbanyak
Heboh Polantas Tanya 'SIM Jakarta', Begini Cerita di Baliknya
Sertifikat Kursus Nyetir Jadi Syarat Bikin SIM, Gimana kalau Belajar Sendiri?
Difatwa Haram, Truk Pembawa Sound Horeg Masuk Kategori ODOL?