Kualitas udara di DKI Jakarta terbilang buruk. Indikator kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya akhir-akhir ini selalu berwarna merah.
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin mengatakan ada banyak faktor mengapa Indonesia dirundung masalah polusi udara saban musim kemarau. Masalah pencemaran udara ini hanya sebatas bahan pembicaraan, belum ada kebijakan pasti yang bisa mengubah udara menjadi lebih bersih.
Dari faktor bahan bakar dan kendaraan bermotor, Indonesia harusnya sudah masuk ke era standar emisi Euro 4. Namun, bahan bakar yang banyak beredar di Indonesia justru terbilang bahan bakar yang kotor.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pertalite itu sudah tidak memadai lagi. Pertamax juga masih standar Euro 2, jadi harus di-upgrade. Pertamax itu sebenarnya kalau dari sulfurnya sudah memenuhi syarat, yaitu 100 ppm, Euro 3 itu di bawah 300 ppm kadar belerangnya. Tapi ada satu hal yang belum memenuhi syarat itu adalah olefin konten dari BBM Pertamax. Pertamax itu olefin kontennya masih 35 persen, padahal syaratnya untuk Euro 3 itu 18 persen. Jadi Pertamax harus di-upgrade," kata pria yang akrab disapa Puput itu saat berbincang dengan detikcom melalui sambungan telepon, baru-baru ini.
Adapun BBM Pertamina yang sudah sesuai dengan standar Euro 4 adalah Pertamax Turbo. Namun, bahan bakar yang lebih ramah lingkungan itu masih sedikit.
"Agak complicated untuk bahan bakar sebagai syarat pengendalian emisi. Karena pentolan-pentolannya menjadi politisi-politisi penting yang menentukan merah-hijaunya (kualitas udara) negara kita," kata Puput.
Puput menilai dibutuhkan peran konsistensi dari pemerintah untuk memberantas polusi udara. Para pembantu Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus kompak untuk menangani isu ini.
"Menteri Lingkungan itu sebenarnya nggak bisa apa-apa dalam konteks pengendalian pencemaran udara. Kekuatannya ada di Menteri ESDM untuk konteks bahan bakar yang sesuai dengan kebutuhan engine technology."
"Kemudian teknologi kendaraan agar bisa diproduksi dan dipasarkan standar Euro 4 seperti yang diarahkan Menteri Lingkungan itu kalau Menteri Perindustrian nggak serius, bahkan berusaha melindungi industri otomotif untuk tetap memproduksi kendaraan non-Euro 4, itu kan celaka. Dalam konteks ini Pak Luhut (Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi) harus menekan Menteri Perindustrian untuk memastikan bahwa produk kendaraan bermotor di Indonesia sudah Euro 4," jelas Puput.
Tak cuma itu, juga diperlukan peran dari Menteri Perhubungan. Menurut Puput, Menteri Perhubungan harus tegas dan konsisten untuk membatasi kendaraan bermotor pribadi.
"Menteri Perhubungan itu harus memastikan bahwa pengelolaan transportasi itu berorientasi yang menghindari kemacetan. Menteri Perhubungan itu selalu mengagung-agungkan ASI, avoid, shifting dan improvement itu harus dijalankan," ujarnya.
"Avoid itu misalnya untuk bekerja jangan pakai kendaraan pribadi atau sepeda motor, naiklah angkutan umum (shifting). Soal berdesakan itu kan wajar, di kota-kota besar di dunia seperti itu. Di Paris, New York, Washington DC itu biasa. Jam-jam padat itu wajar, berdesakan wajar. Toh ber-AC. Jadi konteks ini harus dipastikan bahwa Menteri Perhubungan mengupayakan avoid tadi," sebutnya.
Upaya ini dilakukan dengan membatasi kendaraan pribadi. Misalnya dengan menerapkan jalan berbayar elektronik (electronic road pricing/ERP) atau tarif parkir di kawasan padat lalu lintas yang dinaikkan 5-10 kali lipat.
"Kalaupun tadi BBM bagus, teknologi kendaraan bagus, tapi Menteri Perhubungan tidak mau menerapkan agar orang menghindari penggunaan kendaraan pribadi itu sama saja bohong. Jadi harus terintegrasi," ucap Puput.
Halaman berikut: Insentif dan Disinsentif Kendaraan Bermotor
Menurut Puput, Menteri Keuangan juga perlu turun tangan. Dalam hal ini, Menteri Keuangan diminta untuk mengeluarkan kebijakan insentif dan disinsentif. Kendaraan yang memenuhi syarat emisi dan lebih bersih terhadap lingkungan bisa diberikan insentif. Sebaliknya, kendaraan yang memiliki emisi di bawah standar diberikan disinsentif dengan pengenaan cukai emisi.
"Jadi setiap gram penurunan dari standar dikasih insentif. Sebaliknya, berapa gram kelebihan dari standar diberikan cukai emisi," katanya.
"Termasuk kendaraan yang sudah beroperasi. Setiap membayar PKB (pajak kendaraan bermotor) itu harus diuji emisi. Hasil uji emisi kalau melampaui standar nanti setiap gram dikalikan nilai tertentu dan dikenakan ke pajak. Katakan sepeda motor pajak per tahun Rp 250 ribu. Tapi karena tidak memenuhi standar, sehingga ujung-ujungnya sepeda motor membayar Rp 500 ribu, itu harus diterapkan seperti itu," katanya.
Semua poin tersebut, menurut Puput, semata-mata adalah keputusan politik di pemerintah pusat. Dibutuhkan konsistensi dari pemerintah pusat untuk membenahi masalah polusi udara.
"Pencemaran dari pembangkit listrik dan industri tergantung dari pemerintah pusat juga. Coba bayangkan kita akan kurangi pembangkit listrik batu bara, tapi kalau menteri-menteri punya bisnis batu baru gimana mau kurangi? Belum lagi anggota-anggota DPR kan. Makin rumit kan?" pungkasnya.
Komentar Terbanyak
Begini Pengakuan Polisi Sopir Rantis yang Lindas Affan Kurniawan
Pajak Mobil Indonesia Dicap Paling Tinggi Sedunia
Bayangin Aja! Pajak Toyota Avanza Rp 150 Ribu, Nggak Ada Gesek 5 Tahun Sekali