Traffic management menjadi satu tantangan besar untuk semua kota-kota besar di dunia, termasuk Jakarta. Ibu Kota Indonesia ini mewacanakan sejak lama ingin menerapkan Electronic Road Pricing (ERP) seperti di Singapura namun tak kunjung terealisasi. Salah satu masukan dari Pengamat Kebijakan Transportasi MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia), Dr Eng. Ir. IB Ilham Malik menilai ERP tidak efektif diterapkan di DKI Jakarta.
"Padahal sudah dari jauh-jauh hari dari dulu sampai sekarang, itu ERP dianggap oleh expert di bidang transportasi yang memahami soal transport and spatial planning pasti tidak akan efektif," kata dia saat dihubungi detikcom, Senin (16/1/2023).
ERP memang salah satu instrumen untuk mengendalikan atau mengurangi volume lalu lintas segmentasi suatu ruas jalan. Namun Ilham menilai budaya, tata ruang, fasilitas transportasi publik serta mobilitas kendaraan sudah diatur secara kompak. Sedangkan DKI Jakarta menjadi kota yang berasal dari kota-kota penyanggah seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang harus dilihat adalah kultur masyarakatnya, di sana kotanya bersifat compact, jadi pergerakan orang dari satu tempat ke tempat lain tidak begitu jauh. Kemudian yang kedua, mereka sudah difasilitasi dengan fasilitas transportasi publik, dan juga pedestrian yang memadai," ujar Ilham
"Yang ketiga, kedekatan antara tempat bermukim dengan tempat kegiatan. Baik itu kawasan pemukiman dengan kantornya, atau kawasan pemukiman dengan tempat sekolah, dan lain sebagainya. Tempat hiburan juga begitu," kata dia.
"Sehingga compact city itu sudah diterapkan di Singapura, tetapi di tempat kita, di DKI Jakarta sangat begitu luasnya. Siapa yang melintasi ruas jalan tersebut itu adalah rata-rata masyarakat yang memang berasal dari luar, luar dari area yang diterapkan ERP, sehingga ini menjadi problem," sambungnya lagi.
Kondisi lalu lintas saat ini merupakan hasil yang membiarkan populasi kendaraan bermotor tanpa terkendali. Kebijakan ERP dinilai hanya memindahkan kemacetan di satu titik lainnya.
"Pola pergerakan orang dan barang, yang ditujukan dari volume kendaraan yang ada itu berbeda kondisi dengan yang ada di Singapura, nah karena itu kita jangan terjebak pada penerapan teknologinya, tapi kita harus lihat perilaku atau travel behavior dari orang yang ada di kota tersebut, kemudian struktur ruang di kota tersebut yang tentu memberikan pengaruh pada mobilitas," kata dia.
(riar/din)
Komentar Terbanyak
Selamat Tinggal Calo, Bikin SIM Wajib Ikut Ujian Lengkap
Naik Taksi Terbang di Indonesia, Harganya Murah Meriah
Jangan Pernah Pasang Stiker Happy Family di Mobil, Pokoknya Jangan!