Kecelakaan maut diduga akibat truk rem blong kembali terjadi ketika sebuah truk Pertamina menabrak beberapa sepeda motor dan mobil di Jl Transyogi, Cibubur, Bekasi. Praktisi keselamatan berkendara sebelumnya sudah mewanti-wanti soal kecelakaan akibat truk/bus rem blong yang terus terulang.
Praktisi keselamatan berkendara yang juga Founder dan Instruktur Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC), Jusri Pulubuhu, menyebut kecelakaan bus dan truk akan terus terjadi jika akar masalahnya belum diselesaikan. Itu ia sampaikan pada Februari 2022 lalu kepada detikcom. Sejak saat itu, beberapa kecelakaan maut akibat truk/bus rem blong kembali terjadi. Kenapa Jusri bisa memprediksi hal itu?
Menurutnya, ini berkaitan juga dengan kompetensi pengemudinya. Dia menilai, masih banyak pengemudi kendaraan besar yang tidak memiliki kompetensi yang memadai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena fakta mengatakan bahwa para pengemudi ini kompetensinya ini berangkat dari kebiasaan," sebutnya. Bahkan, ada juga kecelakaan maut akibat truk rem blong yang dikendarai sopir cadangan.
Jusri bilang, bisa dipastikan hampir 90% pengemudi angkutan barang dan penumpang naik pangkat dari kenek. "Strata-nya begitu (dari kenek menjadi sopir). Ini linear, mereka bisa (nyetir bus dan truk) karena biasa," ujar Jusri.
"Sedangkan apakah keterampilan sama dengan kompeten? Tidak. Karena kompeten mencakupi 3 elemen, pertama keterampilan, kedua pengetahuan, ketiga attitude. Para pengemudi kita semuanya dari fakta yang ada mereka hanya terampil. Tapi apakah mereka memiliki pengetahuan, apakah mereka memiliki attitude? Dua elemen terakhir itu hanya bisa diperoleh dari sebuah pendidikan, sekolah, training. Dan ini menjadi masalah saat sekarang. Mereka tidak memiliki pengetahuan sehingga yang namanya kesadaran tentang keselamatan, kesadaran tentang peraturan berlalu lintas, kemampuan dalam hal beretika atau berempati nggak ada," beber Jusri.
Ditambah lagi permasalahan dari perusahaan truk atau busnya. Terutama kendaraan logistik, banyak perusahaan yang ingin menghemat demi mencapai ongkos yang lebih rendah. Menurut Jusri, hal itu mengesampingkan faktor keselamatan berkendara.
"Kalau misalnya pengusaha itu tertib mengikuti semua peraturan soal perekrutan tenaga pengemudi yang sudah terlatih, melaksanakan ketentuan-ketentuan perusahaan, akibatnya overhaead (cost) yang tinggi. Kalau overhead (cost) tinggi linear dengan harga jual tinggi. Kalau cost tinggi tidak didukung oleh daya beli dari masyarakat atau masyarakat menolak harga tinggi, perusahaan mati dong. Kalau perusahaan mau hidup ya terpaksa nggak melaksanakan aturan-aturan tersebut. Misalnya pakai ban vulkanisir lah, kalau ada kerusakan yang harusnya diganti tapi dipakai terus," ujarnya.
"Ini harusnya menjadi pembelajaran bagi stakeholder," katanya.
[Lanjut halaman berikutnya: PR Besar Atasi Penyebab Tidak Langsung Rem Blong]
Komentar Terbanyak
Selamat Tinggal Calo, Bikin SIM Wajib Ikut Ujian Lengkap
Naik Taksi Terbang di Indonesia, Harganya Murah Meriah
Kenapa Sih STNK Tak Berlaku Selamanya dan Harus Diperpanjang?