Kecelakaan bus dan truk yang menimbulkan korban meninggal dunia terus terjadi. Setelah kecelakaan maut truk rem blong di Balikpapan, kini ada lagi kecelakaan maut bus pariwisata di Bantul yang menewaskan 13 orang.
Kecelakaan bus dan truk ini seakan sering terjadi di Indonesia. Bahkan, praktisi keselamatan berkendara yang juga Founder dan Instruktur Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC),Jusri Pulubuhu, menyebut kecelakaan bus dan truk akan terus terjadi jika akar masalahnya belum diselesaikan.
"Ini akan terulang-ulang terus. Karena permasalahan rem blong ini kebanyakan karena kelalaian di pengemudinya. Kompetensi dari para pengemudi ini kita harus jujur sangat kurang. Karena fakta mengatakan bahwa para pengemudi ini kompetensinya ini berangkat dari kebiasaan. Bahkan kemarin sebelum kasus Bantul ini, dua kecelakaan setelah Balikpapan itu disebabkan yang membawa adalah pengemudi cadangan," kata Jusri kepada detikcom, Senin (7/2/2022).
Dia bilang, akar masalah dari kecelakaan bus dan truk ini ada di kompetensi pengemudinya. Bahkan dia bilang, bisa dipastikan hampir 90% pengemudi angkutan barang dan penumpang naik pangkat dari kenek. "Stratanya begitu (dari kenek menjadi sopir). Ini linear, mereka bisa (nyetir bus dan truk) karena biasa," ujar Jusri.
"Sedangkan apakah keterampilan sama dengan kompeten? Tidak. Karena kompeten mencakupi 3 elemen, pertama keterampilan, kedua pengetahuan, ketiga attitude. Para pengemudi kita semuanya dari fakta yang ada mereka hanya terampil. Tapi apakah mereka memiliki pengetahuan, apakah mereka memiliki attitude? Dua elemen terakhir itu haya bisa diperoleh dari sebuah pendidikan, sekolah, training. Dan ini menjadi masalah saat sekarang. Mereka tidak memiliki pengetahuan sehingga yang namanya kesadaran tentang keselamatan, kesadaran tentang peraturan berlalu lintas, kemampuan dalam hal beretika atau berempati nggak ada," beber Jusri.
Belum lagi, tambah Jusri, permasalahan dari perusahaan truk atau busnya sendiri. Terutama kendaraan logistik, banyak perusahaan yang ingin menghemat demi mencapai ongkos yang lebih rendah. Menurut Jusri, hal itu mengesampingkan faktor keselamatan berkendara.
"Kalau misalnya pengusaha itu tertib mengikuti semua peraturan soal perekrutan tenaga pengemudi yang sudah terlatih, melaksanakan ketentuan-ketentuan perusahaan, akibatnya overhaead (cost) yang tinggi. Kalau overhead (cost) tinggi linear dengan harga jual tinggi. Kalau cost tinggi tidak didukung oleh daya beli dari masyarakat atau masyarakat menolak harga tinggi, perusahaan mati dong. Kalau perusahaan mau hidup ya terpaksa nggak melaksanakan aturan-aturan tersebut. Misalnya pakai ban vulkanisir lah, kalau ada kerusakan yang harusnya diganti tapi dipakai terus," ujarnya.
"Ini harusnya menjadi pembelajaran bagi stakeholder," katanya.
Simak Video 'Praktisi Ungkap Kebiasaan Sopir Bus-Truk: Niat Hemat, Berujung Tak Selamat':
(rgr/din)