Aktivitas pengawalan ambulans oleh pengendara sipil memakan korban. Belum lama ini, anggota relawan ambulans meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas di Subang, Jawa Barat.
Dikutip dari situs Korlantas Polri, pengguna motor Honda Vario yang tewas dalam kecelakaan itu merupakan relawan pengawal ambulans. Saat kejadian, korban tengah melakukan pengawalan terhadap ambulans menuju arah Bandung.
Kecelakaan diawali dari truk yang datang dari arah Bandung menyalip mobil Avanza di depannya. Namun, saat truk hendak menyalip, rombongan pengendara pengawal ambulans datang dari arah berlawanan dan kecelakaan tak terhindarkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Jusri Pulubuhu, praktisi keselamatan berkendara yang juga founder dan instruktur Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC), niat relawan tersebut memang baik yaitu membuat perjalanan ambulans lebih lancar untuk menuju lokasi tepat waktu. Namun, cara yang dilakukannya dengan melakukan pengawalan kurang tepat. Kata dia, yang berhak melakukan pengawalan dan memiliki diskresi rekayasa lalu lintas sesuai undang-undang hanya petugas polisi. Apalagi, pengendara sipil yang melakukan pengawalan itu tidak dibekali dengan skill pengawalan.
Daripada melakukan pengawalan yang bisa menimbulkan bahaya, Jusri mengajak para relawan ambulans mengubah cara kerjanya. Dia bilang, sebaiknya relawan ambulans meminta kepada petugas kepolisian yang berhak untuk melakukan pengawalan terhadap ambulans.
"Mari pimpinan-pimpinan komunitas melakukan pergerakan, mengubah metode kebajikan mereka dengan memfasilitasi, komunikasi kepada pihak polisi untuk melakukan pengawalan ketika mereka menemukan situasi-situasi masyarakat yang membutuhkan pengawalan. Sederhana kok. Jangan sampai ada yang tewas-tewas gini kita nggak kapok. Ini harus dijadikan pelajaran dan ini menjadi turn back terhadap metode kebajikan kita (para relawan ambulans)," ujar Jusri saat berbincang dengan detikcom melalui sambungan telepon, Kamis (6/1/2022).
Jusri mengatakan, dalam kasus semacam ini, harusnya relawan ambulans tidak melakukan pengawalan. Dia bilang, cara yang tepat adalah dengan meminta petugas polisi untuk mengawal.
"Jaringan komunitas pun akan mudah untuk melakukan permohonan tersebut kepada polisi daripada pasien yang akan diangkut," ucap Jusri.
"Komunitas kalau mau ikut rombongan, mereka harus paham bahwa mereka tidak membuka jalan. Mereka beriringan boleh, tapi tidak melakukan rekayasa jalan," sambungnya. Sebab, yang berhak melakukan rekayasa lalu lintas adalah petugas polisi.
Sementara itu, Badan Kehormatan Road Safety Association (RSA) Rio Octaviano mengatakan, pihaknya juga sedang memperjuangkan ketersediaan jalur khusus kendaraan darurat atau emergency lane. Rio mengajak relawan ambulans untuk bekerja sama menciptakan emergency lane.
"RSA secara terbuka mengajak semua organisasi relawan ambulans ikut perjuangan dalam pembuatan Emergency Lane di Indonesia. Bisa email ke sekretariat@rsa.or.id untuk kesiapan mereka dalam mendukung perjuangan ini," ujar Rio kepada detikcom belum lama ini.
Kata dia, RSA memiliki rencana jangka panjang untuk mengajukan pembuatan karpet merah untuk ambulans. Rio menyarankan ada jalur khusus untuk ambulans.
"Sekarang di Indonesia sendiri semua punya jalurnya masing-masing. Kami berpikiran misalnya teman-teman pesepada sudah berhasil meyakinkan pemerintah untuk membangun jalur sepeda, bus sudah ada jalur bus, sekarang yang kita minta edukasi kepada masyarakat pun untuk memberikan akses utama kepada kendaraan-kendaraan emergency yang membawa korban laka lantas (kecelakaan lalu lintas)," ucap Rio.
"Red carpet adalah alokasi khusus yang dibuat untuk jalur ambulans atau kendaraan emergency, sebagai edukasi masyarakat tentang pentingnya memberikan prioritas kepada kendaraan emergensi, dibuatkan di jalan-jalan protokol," lanjut Rio.
(rgr/lth)
Komentar Terbanyak
Selamat Tinggal Calo, Bikin SIM Wajib Ikut Ujian Lengkap
Naik Taksi Terbang di Indonesia, Harganya Murah Meriah
Jangan Pernah Pasang Stiker Happy Family di Mobil, Pokoknya Jangan!