Akhir-akhir ini muncul beberapa desa miliarder karena pembebasan lahan. Warga yang tergusur proyek mendadak jadi miliarder karena mendapat ganti rugi pembebasan lahan. Beberapa di antaranya langsung membeli mobil baru.
Yang terbaru ada di Yogyakarta. Sebagian warga di Kalurahan Tirtonadi, Kecamatan Mlati, Sleman, jadi miliarder dadakan karena mendapat kompensasi atas lahan untuk proyek Tol Yogyakarta-Bawen.
Sebelumnya juga pernah terjadi di Tuban, Jawa Timur. Warga di desa Tuban viral karena memborong ratusan mobil baru. Mereka mendadak menjadi miliarder usai menerima uang ganti rugi pembebasan lahan untuk proyek kilang yang merupakan kerja sama antara Pertamina dan perusahaan asal Rusia, Rosneft.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, pembeli mobil baru di Tuban saat awal-awal membeli mobil dari uang ganti rugi pembebasan lahan mayoritas belum lancar mengemudi. Sebanyak 15 mobil di kampung miliarder di Tuban itu masuk bengkel. Selain belum lancar mengemudi, hal ini juga gara-gara kondisi jalan desa yang sempit.
Apakah semua pembeli mobil baru dari desa miliarder sudah lancar mengemudi? Menurut praktisi keselamatan berkendara sekaligus Founder Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC) Jusri Pulubuhu, keterampilan mengemudi seperti mengoperasikan setir, gas, rem, dan persneling memang menjadi keterampilan dasar. Tapi, ada yang lebih penting dari itu, yaitu keterampilan soft skill sebelum mengemudi di jalan raya.
"Ada satu fenomena di masyarakat, pandangan masyarakat cuma sampai keterampilan atau hard skill. Itu keterampilan technical seperti ngegas, ngerem, oper gigi, begitu saja. Technical skill ini seiring dengan mereka menggunakan atau mengoperasikan kendaraan keterampilannya naik. Keterampilan ini gampang sekali ditransfer, melihat orang terus dicontoh. Ini yang terjadi di Indonesia. Kita tidak melalui suatu lorong yang benar untuk mencapai keterampilan sesungguhnya yang dibutuhkan di jalan. Yaitu keterampilan soft skill. Padahal di jalan itu, keterampilan soft skill yang penting. Karena keterampilan soft skill ini adalah keterampilan kognitif," kata Jusri kepada detikcom, Rabu (8/9/2021).
Pengemudi yang menganggap dirinya sudah terampil tanpa didasari soft skill, menurut Jusri sangat berbahaya. Mereka akan lebih percaya diri bahkan sampai berani memacu kecepatan tinggi karena merasa dirinya sudah mumpuni dalam mengemudi. Padahal, jika belum memiliki soft skill yang baik dalam berkendara, kecelakaan fatal menjadi risiko besarnya.
"Mereka sangat berbahaya. Mungkin akan membahayakan mereka dan orang lain secara fatal. Nanti karena sudah menganggap dirinya terampil, itu yang namanya confidence naik. Kecepatan lebih tinggi, begitu kecelakaan, fatal," ujar Jusri.
Adapun contoh soft skill untuk mengemudi menurut Jusri antara lain seperti kemampuan kognitif, pemahaman berkendara di jalan raya, kemampuan menilai, etika, empati, tertib berlalu lintas, berbagi di jalan raya, serta sopan di jalan.
Jusri menyebut, untuk meminimalisir hal tersebut, semua pihak harus terlibat. Mulai dari pemerintah, polisi, masyarakat yang paham perlu mengedukasi masyarakat yang baru membeli mobil tapi belum memiliki keterampilan tersebut.
"Jangan sampai fatalitas terjadi. Jangan sampai terbentuk suatu kelompok masyarakat yang nanti 5-10 tahun yang menganggap dirinya mumpuni dengan penuh pengalaman yang salah," ucap Jusri.
(rgr/din)
Komentar Terbanyak
Mobil Esemka Digugat, PT SMK Tolak Pabrik Diperiksa
Syarat Perpanjang SIM 2025, Wajib Sertakan Ini Sekarang
7 Mobil-motor Wapres Gibran yang Lapor Punya Harta Rp 25 Miliar