Sopir ambulans salah satu profesi yang berjibaku memberi pelayanan kepada warga di tengah pandemi COVID-19. Profesi ini dibayangi kekhawatiran terpapar, hingga perasaan haru saat tidak berhasil menyelamatkan pasien COVID-19.
Herry Febrianto (39) salah satu dari banyaknya relawan yang berjibaku membantu penanganan wabah Corona di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia bergabung bersama relawan Kagama Intelek untuk menjadi sopir ambulans hingga memikul peti jenazah COVID-19 ke tempat peristirahatan terakhir.
Awalnya Herry menceritakan salah satu kendala para relawan yang sering ia hadapi ketika membawa pasien COVID-19. Menurutnya, kendala itu dari ruangan yang terbatas hingga tidak adanya SDM, sedangkan pasien yang dinyatakan positif COVID-19 terus bertambah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ya kan kita sedih, jemput terburu-buru, ke rumah sakit A ditolak karena memang dia sudah penuh kapasitasnya, ke rumah sakit B juga ditolak. Akhirnya kita ke rumah sakit induk, misalnya yang tidak bisa menolak RSUP Sardjito," kata Herry saat berbincang bersama detikcom, Jumat (16/7/2021).
"Pasien kita tidak bisa menyalahkan karena memang terbentur dengan kapasitas layanannya," sambung dia.
Sudah tiga minggu bergabung, pria yang juga bekerja sebagai kontraktor sekaligus pelatih tenis ini menemukan sulitnya mencari rumah sakit karena lonjakan pasien COVID-19, sementara di rumah sakit banyak yang tak bisa mendapat ruang perawatan intensif (ICU).
"Permasalahannya untuk masuk ke fasilitas kesehatan itu antreannya panjang sekali bisa tiga sampai empat jam," kata Herry.
Selama pandemi COVID-19, sopir ambulans lainnya, Hardi juga merasa cukup berat. Pengalaman pahit yang pernah dialaminya saat membawa pasien yang meninggal di dalam ambulans.
"Kalau warga yang sakit itu bisa sampai ke rumah sakit, saya merasa bangga bisa membantu apalagi bila kondisinya kritis. Tetapi kalau warga yang sakit meninggal di dalam mobil, itu yang sangat saya sesalkan," kata Hardi, seorang sopir ambulans saat berbincang dengan detikcom belum lama ini.
Contohnya saja kejadian pahit minggu lalu, masih membekas dalam benaknya saat warga yang akan diangkutnya dalam kondisi kritis karena terinfeksi virus Corona.
"Waktu itu kita angkut pasien dari sekitar perumahan Kota Baru Parahyangan, begitu kita datang sudah plus. Itu warga yang sedang isolasi, tapi tetap kita bawa dulu karena kita kan hanya bisa melakukan penanganan sementara, kita lihat nafasnya sudah tidak ada," ujar Hardi.
Dalam laman LaporCovid19 sedikitnya 265 korban jiwa yang meninggal dunia positif COVID-19 dengan kondisi sedang isolasi mandiri di rumah, saat berupaya mencari fasilitas kesehatan, dan ketika menunggu antrean di IGD Rumah Sakit. Kematian di luar fasilitas kesehatan ini terjadi selama bulan Juni 2021 hingga 2 Juli 2021
Ada perasaan ingin marah, tapi kepada siapa?
Apa yang dirasakan Hardi turut dirasakan Herry. Apalagi saat pasien ditolak dari rumah sakit karena penuh hingga akhirnya meninggal di dalam ambulans.
"Itu sedih sekali memang, rasanya pengin marah hati kita. Tapi mau marah sama siapa, orang mau gimana lagi," kata dia.
Herry menceritakan belakangan dalam satu hari tim pemulasaran bisa mengangkut hingga lima warga yang terpapar. Tak jarang pula ia mengangkut jenazah dari rumah sakit ke tempat persemayaman.
"Kalau untuk satu tim pemulasaran jenazah itu bisa sampai 5 jenazah dalam sehari, itu bisa pagi sampai tengah malam," tutur Herry.
Persiapan Harus Matang
Menjadi sopir ambulans di masa pandemi ini memberikan tantangan lebih bagi Hardi, ia harus bisa memastikan kondisi tubuhnya tetap prima. Salah satu kiat yang dijalankannya adalah makan teratur, rutin minum air hangat dan vitamin C.
"Kalau untuk perlengkapannya kita sediakan APD, dan disinfektan untuk tubuh kita sendiri dan kendaraan," ujar Hardi.
Pun demikian dengan Herry, penyintas COVID-19 ini sudah dua kali terinfeksi. Selama menjadi relawan juga tetap menggunakan protokol kesehatan yang ketat.
"Saya konsultasi ke kakak kelas saya, Kepala Forensik RS Sardjito, saya pulang langsung lepas baju, saya cuci pakai sabun, saya mandi, keramas, sudah, virus yang di luar sudah selesai," kata Herry.
"Selama bekerja saya selalu prokes pakai masker, sarung tangan, pakai penutup kepala," kata dia.
Keluarganya pun, dikatakan Herry, telah memahami risikonya. Walau begitu, Herry kerap mengganti baju dan mandi sebelum bersentuhan dengan keluarga di rumahnya.
"Bisa jadi saya kuat, tapi pada saat saya pulang, nempel ke anak istri saya kan kasihan," kata Herry.
(riar/rgr)
Komentar Terbanyak
Jangan Pernah Pasang Stiker Happy Family di Mobil, Pokoknya Jangan!
Selamat Tinggal Calo, Bikin SIM Wajib Ikut Ujian Lengkap
Naik Taksi Terbang di Indonesia, Harganya Murah Meriah