Jakarta -
Mata elang kini menjadi sorotan usai terlibat bentrok dengan sejumlah driver ojek online (ojol) di Mangga Besar, Sawah Besar, Jakarta Pusat, Selasa (6/7). Apa itu profesi mata elang dan bagaimana masyarakat menghadapinya?
Polisi mengungkap tawuran itu dipicu kesalahpahaman di antara kedua pihak.
"Jadi dari pihak ojol menganggap bahwa dari pihak mata elang melakukan penarikan, namun ternyata terjadi salah pahamlah intinya seperti itu," ujar Kapolsek Sawah Besar AKP Maulana Mukarom saat dikonfirmasi, Rabu (7/7/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Debt collector biasa juga disebut mata elang, mereka pihak ketiga yang ditunjuk dari perusahaan leasing atas alasan kredit macet.
Mata elang (matel) biasa standby di pinggir-pinggir jalan sembari memegang ponsel atau buku untuk mencatat nopol yang bermasalah terkait lembaga pembiayaan. Banyak yang menganggap sorotan matanya bak elang, tajam melihat pelat nomor debitur yang menunggak kredit kendaraan.
Jika mata elang menjumpai kendaraan yang cicilannya macet -- biasanya ditandai dengan nomor polisi oleh pihak leasing -- maka mereka akan mencatat dan menghampiri si pengendara. Dia akan meminta atau memperingatkan debitur untuk melunasi cicilan. Namun tak jarang juga langsung menarik kendaraan yang cicilannya bermasalah itu.
Mata elang pun tak boleh menarik sembarangan kendaraan yang kredit macet di jalan. Masyarakat juga berhak untuk menanyakan syarat-syarat yang harus dilengkapi mata elang dalam menarik kendaraan.
"Syarat untuk mengeksekusi ini adalah sudah didaftarkan fidusianya, sudah dibayarkan PNPB-nya, kemudian sudah juga keluar sertifikat fidusianya. Jadi selama belum didaftarkan, dan sertifikat fidusianya (tidak ada) maka ia tidak bisa mengeksekusi sendiri, ini juga termasuk hak konsumen kalau tidak ada sertifikat maka tidak bisa dieksekusi," ungkap David kepada detikcom beberapa waktu yang lalu.
"Syarat untuk penarik kendaraan untuk mengeksekusi ini juga harus bersertifikasi sebagai pihak yang berwenang untuk mengeksekusi yang dikeluarkan oleh Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) kalau tidak bersetifikasi ini akan menjadi masalah dan dilaporkan ke APPI dan selanjutnya bisa diproses," jelas David.
Polisi sempat mengimbau bagaimana masyarakat menghadapi mata elang di jalan.
Pertama tanyakan identitas. Masyarakat berhak menanyakan identitas para mata elang, meskipun masyarakat terbukti menunggak pembayaran kredit. Namun perlu dilakukan dengan cara yang baik dan sopan.
Kedua, tanyakan kartu sertifikasi. Setelah mengetahui identitas para debt collector, maka masyarakat bisa menanyakan kartu sertifikasi profesi debt collector. Karena pihak debt collector ini akan mengambil barang atau kendaraan sehingga dibutuhkan sertifikasi dari APPI.
Ketiga, tanyakan surat kuasa. Surat kuasa ini menjadi bukti bahwa barang atau kendaraan yang pembayarannya menunggak bisa diambil. Namun surat kuasa ini harus berasal dari perusahaan pembiayaan. Sehingga para debt collector tidak bisa seenaknya langsung menyita atau sebagai sebagainya.
Keempat, harus ada sertifikat jaminan fidusia. Langkah terakhir yang bisa dilakukan masyarakat dalam menghadapi para debt collector adalah menanyakan sertifikat jaminan fidusia. Sertifikat jaminan ini bisa berupa yang asli atau salinan. Jika tidak ada, maka masyarakat berhak menolak penarikan atau penyitaan barang yang akan dilakukan.
Polri pun meminta kepada seluruh masyarakat agar tidak segan meminta bantuan aparat penegak hukum jika keempat poin tersebut tidak bisa dipenuhi oleh para debt collector.
Tapi jika debiturnya nakal maka debt collector atau mata elang bisa mengajak polisi dan perwakilan perusahaan pembiayaan.
"Kalau debitur agresif saya mengajarkan ke kolektor kita balik kanan ikutin aja kendaraannya diparkir di mana. Tungguin lalu hubungi perusahaan pembiayaan, ajak petugas polisi datang ke rumahnya. Kalau petugas polisi datang kan nanti yang bersikeras tahu yaudah mobilnya dibawa dulu ke kantor polisi jadi barang bukti, nanti dibuktikan mana yang benar," terang Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno.
Bolehkah tarik kendaraan di jalan?
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengungkapkan putusan MK No.18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020 soal Fidusia ini sebenarnya memperjelas pasal 15 Undang-undang (UU) No. 42 Tahun 1999 tentang Wanprestasi atau Cidera Janji antara Debitur dan Kreditur.
"Jadi, leasing masih tetap bisa menarik kendaraan dari debitur macet yang sebelumnya telah diperingatkan. Dengan catatan, prosedur sudah dijalankan," kata Suwandi beberapa waktu yang lalu saat acara InfobankTalkNews 'Pasca Putusan MK Tentang Fidusia: Leasing Masih Bisa Tarik Kendaraan Debitur Macet'.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunis pernah menerangkan bahwa dalam proses penarikan kendaraan, pihak pembiayaan atau leasing harus memberikan surat peringatan kepada konsumen terlebih dahulu.
Pertama, perusahaan pembiayaan (leasing) harus mengeluarkan surat kuasa kepada debt collector yang ditunjuk. Kedua, perusahaan pembiayaan harus memiliki jaminan fidusia. Ketiga, ada surat peringatan baik surat peringatan (SP) 1, SP 2, dan keempat adalah tanda pengenal debt collector, dan Sertifikat Profesi Pembiayaan Indonesia (SPPI).
Namun jika prosedur tak dijalankan. Polisi menyebut, debt collector yang menarik kendaraan secara paksa dari pemilik yang sah adalah perbuatan pidana. Penagih utang itu dapat disangkakan melakukan perbuatan tidak menyenangkan di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 335 ayat 1 dengan pasal berlapis Pencurian dengan Kekerasan (Pasal 365 jo Pasal 53 KUHP).
"Ancaman hukumnya sembilan tahun penjara," kata Yusri seperti dikutip Antara.
Dalam putusan MK disebutkan, eksekusi tanpa pengadilan dibolehkan dengan syarat pihak debitur mengakui adanya wanprestasi.
Sepanjang pemberi hak fidusia (debitur) telah mengakui adanya cedera janji (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi obyek dalam perjanjian fidusia, maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi penerima fidusia (kreditur) untuk dapat melakukan eksekusi sendiri (parate execute).
"Apabila yang terjadi sebaliknya, di mana pemberi hak fidusia (debitur) tidak mengakui adanya 'cedera janji' (wanprestasi) dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri," demikian bunyi putusan MK
Tak kuat bayar cicilan jangan diam saja, ini yang perlu dilakukan debitur supaya tak berurusan dengan mata elang.
David menyebut setiap debitur yang membeli dengan cara kredit melalui lembaga pembiayaan biasanya sudah sadar dengan dengan segala macam konsekuensi yang perlu dihadapi, mulai dari bunga hingga kendaraan ditarik bila mengalami kredit macet.
Saat ini baik perusahaan pembiayaan maupun konsumen sudah terlindungi dengan Undang-Undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Apabila konsumen melakukan kesulitan dalam pembayaran cicilan, sebaiknya segera menghubungi perusahaan pembiayaan.
"Ketika berbicara tentang pembayaran cicilan yang macet, entah karena ada masalah keuangan, sakit, sehingga tidak bekerja sebaiknya konsumen itu datang ke perusahaan pembiayaan untuk mengatur kembali restrukturisasi tentang pembayaran cicilannya," ungkap Ketua Komunitas Layanan Konsumen Indonesia David Tobing kepada detikcom beberapa waktu yang lalu.
"Jangan malah menjual, atau mengalihkan motor atau mobil itu kepada pihak lain, karena itu bisa dikenakan pidana," tambah David.
Bagi konsumen (debitur) yang secara tiba-tiba mengalami kesulitan masalah keuangan maka dianjurkan untuk tidak diam begitu saja.
Debitur yang memiliki kewajiban untuk membayar tanggungan cicilan dan perusahaan pembiayaan sebagai kreditur memiliki proses mekanisme apabila terjadi kredit macet, sebelum akhirnya melakukan eksekusi (penarikan) kendaraan oleh mata elang.
Direktur Mandiri Tunas Finance Harjanto Tjitohardjojo mengungkapkan jika konsumen tak kuat membayar sebaiknya bisa memilih opsi over kredit secara resmi.
"Harusnya dengan fidusia cukup, saat konsumen nunggak dilakukan collection dan diberikan waktu," bilang Harjanto kepada detikcom beberapa waktu yang lalu.
"Kalaupun konsumen tidak sanggup (melanjutkan kredit-Red) diarahkan untuk over alih resmi. Kalaupun tidak cocok, kendaraan dilelang dan hasilnya jika ada uang lebih dikembalikan oleh konsumen," ujar Harjanto.
Komentar Terbanyak
Jangan Pernah Pasang Stiker Happy Family di Mobil, Pokoknya Jangan!
Naik Taksi Terbang di Indonesia, Harganya Murah Meriah
Kenapa Sih STNK Tak Berlaku Selamanya dan Harus Diperpanjang?