Tindak kekerasan yang melibatkan komunitas motor sebenarnya bukan hal baru lagi. Kejadian ini terus berulang dan terbaru ada 2 anggota TNI di Bukittinggi, Sumatera Barat menjadi korbang pengeroyokan rombongan klub Harley-Davidson.
Penganiayaan terhadap dua anggota TNI berpangkat serda itu terjadi pada Jumat (30/10), sekitar pukul 17.00 WIB. Saat itu kedua anggota TNI tengah melintas di Jalan Hamka, Guguk Panjang, Bukittinggi.
Pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu membedah fenomena ini dari bebeberapa faktor. Ia menyebut ada beberapa hal yang membuat tindakan arogansi muncul dalam kegiatan komunitas motor.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Arogansi pengguna sepeda motor di jalan muncul dari berbagai macam faktor, beberapa poin yang kerap kali mencuat akhir-akhir ini adalah yang berkaitan dengan jenis motor, branding kelompok, dan pola berkendara secara konvoi," kata Yannes saat dihubungi detikcom, Sabtu (31/10/2020).
Menyikapi kasus pengeroyokan, Yannes melihat faktor yang dipengaruhi oleh jenis motornya. Seperti diketahui Harley-Davidson harganya tak murah, yang artinya pemiliknya adalah orang-orang dengan harta berlebih. Bisa dikatakan pula orang yang mampu memiliki motor ini juga bukan orang sembarangan dan biasanya memiliki posisi kuat di bidangnya masing-masing.
"Semua juga tahu bahwa Harley-Davidson bukanlah sepeda motor sembarangan. Ia mulai dari harga 300 jutaan hingga bisa lebih dari satu setengah milyar rupiah. Artinya, sangat sedikit orang yang mampu membelinya. Mereka yang mampu memilikinya adalah segelintir orang yang rata-rata berpendidikan tinggi, memiliki jabatan tinggi dan posisi tinggi di masing-masing organisasi, bidangnya, dan masyarakat, serta memiliki keuangan yang sukses. Semua juga tahu bahwa sangat sedikit orang yang mampu untuk membeli sepeda motor mahal ini," terang Yannes.
Harga yang tinggi ini secara tidak langsung menimbulkan gap sosial ekonomi di jalanan. Dari sana muncul perasaan ekslusifitas dan merasa superior dibanding lainnya. Ditambah lagi apa pemilik Harley-Davidson tergabung dalam komunitas tertentu.
"Adanya komunitas Harley Davidson juga menunjukkan bahwa sudah terjadi seleksi sosial. Pertama, hanya tingkatan sosial tertentu saja yang dapat memilikinya. Kedua, sekadar memiliki sepeda motor Harley-Davidson tidak berarti bahwa seseorang dapat secara mudah masuk ke dalam kelompok tersebut. Karena, pembentukan kelompok itu sangat didasari oleh semakin banyaknya kesamaan di antara mereka," lanjut Yannes.
Menyambung masalah pengeroyokan, kesamaan dan solidaritas pun muncul dari para anggotanya. Ujung-ujungnya mereka akan membela kelompok mereka atas segala tindak tanduk yang dilakukan.
"Komunitas sepeda motor Harley-Davidson tentunya sangat selektif dalam memilih anggotanya. Di samping adanya kesamaan perasaan akan jenis merek yang sama, juga sangat dipengaruhi oleh kesamaan tujuan untuk berkumpul. Salah satu hal terpenting dalam kelompok adalah 'trust', dan kesetiaan terhadap kelompok. Hal itu tentunya akan membangun semangat kebersamaan dan soliditas yang sangat kental," papar Yannes.
"Akumulasi dari berbagai hal di atas menumbuhkan sikap kental eksklusivitas kelompok yang berpotensi berujung pada sikap arogan, dan tak santun saat di jalan umum. Hal inilah yang acapkali menimbulkan polemik di masyarakat terkait aturan berlalu lintas konvoi komunitas motor. Arogansi ini biasanya muncul saat rasa emosi kesetiaan kelompok yang menjadikan dirinya merasa terganggu ketika ada anggota kelompoknya yang mengalami masalah. Kedua, adanya individu dalam kelompok bersaing dengan cara show-off berlebihan dengan mengumbar kehebatannya agar mendapatkan pujian dan perhatian dari anggota kelompok lainnya," pungkas Yannes.
(rip/lth)
Komentar Terbanyak
Jangan Kaget! Biaya Tes Psikologi SIM Naik, Sekarang Jadi Segini
Jangan Pernah Pasang Stiker Happy Family di Mobil, Pokoknya Jangan!
Naik Taksi Terbang di Indonesia, Harganya Murah Meriah