Jalanan Berbayar di Jakarta 2021, Pengamat: Jangan Jadi Proyek Akal-akalan

Jalanan Berbayar di Jakarta 2021, Pengamat: Jangan Jadi Proyek Akal-akalan

Rangga Rahadiansyah - detikOto
Senin, 24 Feb 2020 16:49 WIB
Wacana penerapan pembatasan kendaraan dengan sistem electronic road pricing (ERP) masih terus digodok. Sistem ERP ditargetkan diberlakukan mulai Mei 2019.
Pemprov DKI Akan Berlakukan ERP. Foto: Agung Pambudhy.
Jakarta -

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan menerapkan program jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP). Direncanakan, ERP berlaku pada 2021.

Sebelumnya, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Syafrin Liputo, membocorkan lokasi jalan berbayar tahap pertama. Adapun jalan yang akan diterapkan ERP antara lain Jl. Sisingamangaraja, Jl. Sudirman, dan Jl. M.H. Thamrin.

Ketua Presidium Indonesia Traffic Watch (ITW) Edison Siahaan mengatakan, pihaknya mengingatkan kepada Pemprov DKI Jakarta agar melakukan evaluasi secara komprehensif sebelum melelang dan menerapkan ERP pada awal 2021 nanti.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Agar tidak memicu tudingan ERP atau jalan berbayar adalah proyek akal-akalan untuk mendulang retribusi dari masyarakat," ujar Edison dalam keterangan persnya yang diterima detikcom, Senin (24/2/2020).

Dia melanjutkan, Pemprov DKI harus memastikan kebijakan ERP akan memberikan manfaat dan keadilan bagi masyarakat. ERP juga harus berdampak signifikan pada upaya mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, kelancaran lalu lintas.

ADVERTISEMENT

"Sebab, sebelumnya sistem ERP sudah diuji coba pada awal 2016 silam. Tetapi, wacana ERP hilang tanpa penjelasan yang resmi. Padahal kondisi lalu lintas saat ini tidak jauh berbeda saat uji coba ERP dilakukan," katanya.

Kewenangan manajemen rekayasa lalu lintas diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Hal itu tertuang dalam Pasal 133 ayat 3 yang menyebut pembatasan lalu lintas dapat dilakukan dengan pengenaan retribusi pengendalian lalu lintas.

"Tetapi ERP tidak berdiri sendiri, harus terintegrasi dengan sistem yang sudah tersedia lainnya. Seperti registrasi kendaraan bermotor yang terkait dengan pengenaan tarif maupun denda. Kemudian infrastruktur jalan alternatif apabila pengendara tidak ingin melintasi kawasan jalan berbayar," ujar Edison.

Selain itu, lanjutnya, Pemprov DKI Jakarta juga harus melakukan uji coba untuk memastikan ERP tidak menimbulkan kesemrawutan di ruas jalan penghubung yang menjadi pilihan pengguna jalan. Kemudian, ketersediaan layanan transportasi angkutan umum yang terintengrasi ke seluruh penjuru yang menjamin jalanan tetap tertib dan terjangkau secara ekonomi.

"Disertai terciptanya kondisi lalu lintas yang berjalan secara teratur, tidak ada perilaku agresif di jalan raya. Memastikan adanya jaminan keselamatan dan kondisi jalan yang tetap baik dan layak," katanya.

Menurut Edison, kebijakan seperti 3 in 1, ganjil-genap maupun ERP bukan solusi efektif untuk mengatasi kemacetan. Sebab, kata dia, program itu hanyalah membatasi ruang gerak kendaraan pada wilayah dan waktu tertentu.

"Sementara pemicu utama terjadinya kemacetan dan kesemrawutan adalah akibat populasi kendaraan yang tidak terkontrol dan kesadaran tertib berlalu lintas masyarakat masih sangat rendah, serta penegakan hukum yang belum maksimal," ucapnya.

Untuk mengatasi kemacetan, ITW menyarankan agar pemerintah berani membatasi jumlah kendaraan hingga ideal dengan daya tampung ruas dan panjang jalan, disertai percepatan ketersediaan transportasi umum yang terintegrasi serta meningkatkan kesadaran tertib berlalu lintas masyarakat.


Hide Ads