Produsen Oli Tolak SNI karena Sertifikasi Mahal Bisa Rp 200 Juta

Produsen Oli Tolak SNI karena Sertifikasi Mahal Bisa Rp 200 Juta

Rizki Pratama - detikOto
Selasa, 26 Feb 2019 13:56 WIB
Foto: Agung Pambudhy
Jakarta - Tahun 2019 pemerintah akan mewajibkan produk pelumas yang beredar di Indonesia untuk memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Aturan tersebut baru dikeluarkan melalui Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Pelumas Secara Wajib pada 10 September 2018 dan berlaku mulai 10 September 2019.

Meskipun demikian, Top1 bersama, Exon, Chevron, Total, STP, dan lainnya yang tergabung dalam anggota Perhimpunan Distributor, Importir dan Produsen Pelumas Indonesia (Perdippi) menolak standardisasi tersebut. Alasannya adalah biaya sertifikasi per satu Stock Keeping Unit (SKU) mencapai Rp 200 juta.



SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Alasan Top1 tolak pakai SNI adalah biaya, karena biayanya itu bisa sebesar 1 SKU bisa Rp 200 jutaan. Kita dari asosiasi Perdipi yang di dalamnya ada sekitar 125 anggota seperti Exxon Mobil, Chevron, BM1, STP, Total, dan lainnya menolak aturan tersebut," ujar Brand Activation and Public Relations Manager PT Topindo Atlas Asia, Akmeilani saat ditemui dalam peluncuran produk baru TOP 1 di Central Park, Jakarta Barat (25/2/2019) malam.

Top1 sendiri saat ini memiliki 30 SKU yang mana akan sangat memberatkan mereka untuk mengikuti proses SNI. "Kan ada 30 SKU yang kena SNI, kalau dikalikan Rp 200 juta sudah berapa biayanya," lanjut Akmeilani

Meskipun tidak menggunakan SNI sebagai standar, Top1 bersama anggota Perdippi lainnya lebih memilih untuk melakukan standardisasi melalui Nomor Pelumas Terdaftar (NPT). Untuk NPT sendiri biaya pengujian per SKU hanya memakan biaya Rp 5 juta.

"Top1 sendiri sekarang ada 30 SKU. Untuk NPT sendiri pengurusannya masih lebih murah, itu 5 juta dan berlaku 4 tahun. Kalau SNI ada biaya audit ke negara asal tergantung darimana pabrik itu berasal. Semakin jauh sudah pasti biayanya semakin tinggi, cukup mahal dibanding dengan NPT yang Rp 5 jutaan," ungkap wanita yang kerap disapa Mei tersebut.



Mei melanjutkan biaya audit pun akan ditanggung oleh brand dan tentunya akan menambah pengeluaran. Terlebih lagi pabrik produk berada di luar negeri ditambah dengan biaya akomodasi untuk setiap pengaudit yang bertugas.

"Untuk biaya audit sudah ada ratenya dari masing-masing LSPro (Lembaga Sertifikasi Produk) dan itu cukup tinggi karena misalkan Sucofindo menetapkan biaya man per day, berapa org kesana dikali berapa itu ada aturannya, belum uang saku, akomodasi, tiket pesawat, hotel berapa hari di sana," papar Mei. (rip/ddn)

Hide Ads