Ditambah lagi Indonesia menargetkan penggunaan mobil listrik sebanyak 20 persen pada 2025 akan sulit jika mobil listrik hanya tersedia dalam jenis sedan.
"20 persen target pemerintah itu nggak mungkin market share yang kecil, nggak mungkin sedan. Itu harus masuk MPV atau mungkin LCGC. Kalau 20 persen itu nggak mungkin masuk ke sedan saja. Jadi memang harus terjun mobil sejuta umat, seperti Avanza," ujar Pakar Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Chaikal Nuryakin di Jakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Mobil Listrik Bisa Lebih Murah dari LCGC? |
Selain itu Chaikal juga menyayangkan belum adanya sosialisasi dari perusahaan mobil di Indonesia untuk memperkenalkan mobil listrik. Paling tidak setiap merek memiliki satu contoh mobil listrik di diler mereka.
"Sebenarnya satu lagi adalah masyarakat sudah tahu EV tapi dilihat di diler masih jarang, itu juga masalah kenapa di diler belum mulai? Mungkin MPV seperti Avanza elektrik akan bagus, selama ini nggak pernah ada kan? Itu menurut saya penting karena tidak bisa tiba-tiba mereka diminta untuk beli," tutur Chaikal.
Selain itu dari hasil studi penelitiannya dengan 420 responden yang dibagi dua atas pengguna dan calon pengguna mobil menghasilkan fakta bahwa masyarakat masih ragu menggunakan mobil listrik karena kapasitas baterai. Dari hasil kajian tersebut mereka masih mempertimbangkan mobil bensin terlebih dahulu untuk perjalanan yang lebih jauh.
"Orang yang sudah menggunakan mobil cenderung lebih ingin mengganti mobil ke EV karena mereka tahu konsumsi BBM berapa. Lalu mereka lebih cenderung menambah dengan artian mereka sudah punya mobil biasa dan menambah mobil EV.
Dia juga menekankan pentingnya insentif untuk mobil listrik agar lebih murah. Kalau harus impor, harganya bisa naik dua kali lipat. "Kalau diproduksi di luar akan lebih mahal lagi, impor, PPnBM, PPN. Jadi kalau harganya 1,5 kalau dari luar bisa naik lagi sekitar 50 persen bisa sampai 2 komaan dengan artian dua kali lipat harga mobil biasa itu harganya EV kalau masuk ke Indonesia dari luar tanpa insentif," ujar Chaikal.
Chaikal mesimulasikan andaikan seluruh pajak tadi dihilangkan harga mobil listrik masih terlalu mahal, oleh karena itu perlu diberikan insentif dari pemerintah. "Nah kita asumsinya 1,5 itu produksi di sini, 1,5 pun nggak cukup jadi harus ada insentif sampai 1,1. Nah kita simulasi berapa government revenue yang hilang tanpa PPNBM, PPN, kemudian ganti nama dan sebagainya itu udah kita hilangkan itu paling baru 1,2 dan itu tanpa adanya kenaikan pajak," jelasnya.
"Jadi kita butuh insentif lain selain pajak. Kalau di negara lain itu pengguna mobil listrik boleh lewat jalur seperti busway dan tidak terbatas ganjil genap itu kan jadi tambahan insentif. Kemudian kemarin ada kebijakan diskon dari tarif listrik untuk rumah yang pakai mobil listrik," terang Chaikal. (rip/ddn)
Komentar Terbanyak
Jangan Pernah Pasang Stiker Happy Family di Mobil, Pokoknya Jangan!
Selamat Tinggal Calo, Bikin SIM Wajib Ikut Ujian Lengkap
Naik Taksi Terbang di Indonesia, Harganya Murah Meriah