Pemerintah Thailand jorjoran memberikan insentif untuk mobil listrik. Namun, di balik insentif mobil listrik yang masif itu, banyak perusahaan yang gulung tikar sampai mem-PHK karyawannya.
Asia Nikkei memberitakan, insentif dari pemerintah Thailand yang jor-joran itu memicu efek domino. Para tokoh industri mengatakan, efek dari insentif besar-besaran itu membuat kendaraan listrik di sana kelebihan pasokan. Ini juga memicu perang harga mobil bermesin konvensional. Bahkan, efeknya membuat pabrik mobil konvensional mengurangi produksi dan menutup pabrik, sampai produsen suku cadang yang gulung tikar.
"Konsekuensi yang tidak diinginkan juga telah menyebar ke rantai pasokan (produsen komponen kendaraan), di mana setidaknya selusin produsen suku cadang telah tutup karena sebagian besar produsen kendaraan listrik China yang disubsidi tidak membeli dari sebagian besar produsen suku cadang tersebut," tulis Asia Nikkei.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebijakan itu membuat produsen kendaraan konvensional asal Jepang mengalami dampaknya. "Penjualan mobil berbahan bakar fosil mulai turun setelah subsidi kendaraan listrik di Thailand. Produsen mobil Jepang paling terkena dampaknya karena mereka memproduksi sekitar 90 persen kendaraan fosil di negara tersebut," demikian dikutip Asia Nikkei.
Suzuki, Subaru mengumumkan penutupan pabrik mobil di Thailand. Bahkan, Honda mengatakan akan menghentikan produksi kendaraan di pabriknya di Provinsi Ayutthaya pada tahun 2025 dan mengkonsolidasikan operasi di pabriknya di Provinsi Prachinburi. Langkah ini merupakan bagian dari rencana pengurangan produksi tahunan di Thailand menjadi 120.000 unit per tahun, turun dari 270.000 unit.
Padahal, sektor otomotif di Thailand mempekerjakan lebih dari 750.000 orang dan menyumbang sekitar 11 persen PDB negara tersebut. Sektor otomotif merupakan kontributor terbesar keempat bagi perekonomian negara tersebut.
Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie D. Sugiarto mengatakan, Indonesia juga harus hati-hati. Jangan sampai nasib serupa terjadi di Indonesia karena insentif kendaraan listrik yang masif.
"Kita harus sangat berhati-hati. Karena policy sekarang ini seperti Thailand melakukan hal yang sama yaitu men-support habis-habisan untuk kendaraan listrik. Nah ini tentunya nanti ada akibatnya. Akibatnya itu adalah orang beramai-ramai membeli mobil listrik, mobil internal combustion engine (ICE) ditinggalkan. Nah ini yang harus kita jaga adalah bagaimana dengan pabrik komponen yang tidak lagi diperlukan untuk mobil listrik," kata Jongkie dalam program Autobizz CNBC Indonesia, dikutip Kamis (15/8/2024).
Sebab, menurut Jongkie, ada banyak komponen pada kendaraan konvensional yang tidak dibutuhkan di kendaraan listrik. Misalnya seperti radiator hingga knalpot.
"Padahal pabrik-pabrik komponen ini sudah tumbuh sejak 20-30 tahun yang lalu. Tiba-tiba sekarang ini stop karena mobil-mobil listrik tidak memerlukan part itu lagi. Ini yang terjadi di Thailand. Akibatnya pelan-pelan mereka tutup, PHK, dan juga pabrik mobilnya (tutup dan mem-PHK karyawan) karena penjualan mobil yang ICE tadi sudah menurun. Ini yang kita harus jaga jangan sampai hal itu menular ke Indonesia," ujar Jongkie.
(rgr/dry)
Komentar Terbanyak
Memang Tak Semua, tapi Kenapa Pengguna LCGC Suka Berulah di Jalan?
Selamat Tinggal Calo, Bikin SIM Wajib Ikut Ujian Lengkap
Naik Taksi Terbang di Indonesia, Harganya Murah Meriah