Toyota Jepang mengakui bahwa proses sertifikasi kendaraan dilakukan pada tujuh model tidak sesuai dengan prosedur pemerintah. Begini penjelasan Toyota.
Skandal uji keselamatan pabrikan Jepang meluas. Kali ini giliran Toyota yang ditemukan melakukan sertifikasi tes keselamatan namun tidak sesuai dengan cara yang ditentukan pemerintah Jepang. Isu ini ditemukan setelah kementerian menginstruksikan 85 produsen dan pemasok suku cadang untuk menyelidiki apakah sertifikasi kendaraan diperoleh dengan cara benar setelah adanya skandal di perusahaan grup Toyota belum lama ini.
"Kami memproduksi mobil dan menjualnya tanpa mengikuti proses sertifikasi yang benar. Kesalahan ini mengguncang sistem sertifikasi dan itu harusnya tidak dilakukan oleh produsen mobil, apapun yang terjadi. Kami meminta maaf sebagai grup Toyota," demikian ungkap Chairman Toyota Akio Toyoda dilansir Kyodo News.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Toyota meyakini bahwa sertifikasi merupakan proses penting sebelum melakukan produksi massal dan menjual mobil ke konsumen. Ini dilakukan guna memastikan bahwa mobil memang aman digunakan. Secara garis besar, ada tiga cara untuk mendapatkan sertifikasi.
Pertama, meminta penguji dan layanan teknis yang ditunjuk untuk menyaksikan pengujian. Selanjutnya, produsen melakukan uji sertifikasi internal dan menyerahkan datanya. Ketiga, menyerahkan data uji pengembangan yang kompatibel untuk serifikasi. Kali ini, kasus itu ditemukan pada cara yang kedua dan ketiga.
"Di antara itu, kami menemukan enam kasus spesifik," ungkap Chief Officer Customer First Promotion Group Shinji Miyamoto.
Penjelasan enam kasus temuan di penyimpangan sertifikasi Toyota
Kasus pertama ditemukan saat mendesain ulang Crown dan Isis pada tahun 2014 dan 2015, data pengatur waktu airbag mengembang digunakan untuk sertifikasi. Saat terjadi tabrakan, penumpang utamanya akan dilindungi oleh seat belt dan airbag. Pada Isis, Toyota melakukan pengembangan seat belt untuk meningkatkan performanya. Pada saat tes peningkatan itu, metode pengatur waktu yang digunakan digunakan untuk menciptakan kondisi tabrakan yang lebih parah daripada yang ada dalam uji sertifikasi.
Selain itu, pengembangan model tambahan juga dilakukan untuk Crown. Tujuan dari uji pengembangan ini adalah untuk memastikan kinerja perlindungan penumpang dari sabuk pengaman dan airbag. Metode pengapian pengatur waktu digunakan untuk memastikan penyebaran airbag pada prototipe uji coba. Pada kedua pengujian itu, harusnya dilakukan lagi dalam kondisi sedekat mungkin dengan apa yang akan dikirimkan ke konsumen dan datanya harus diserahkan. Meski begitu, data uji pengembangan itu tetap digunakan untuk sertifikasi.
Kasus kedua ditemukan pada tahun 2015 saat pengembangan Corolla. Toyota melakukan tes untuk mengetahui dampak pada kepala pejalan kaki ketika mengalami tabrakan. Untuk sertifikasi, Toyota melakukan pengujian dengan kondisi yang lebih parah. Dalam hal ini sudut tumbukan 65 derajat. Pengujian harusnya dilakukan lagi dengan sudut tumbukan 50 derajat sebagaimana ditetapkan oleh peraturan dan data itu harusnya diserahkan untuk sertifikasi. Namun demikian, data uji pengembangan ini tetap digunakan untuk sertifikasi.
Pada kasus ketiga, ditemukan saat pengembangan Corolla, Sienta, dan Crown. Pengujian dilakukan untuk mengetahui dampak pada kepala dan kaki pejalan kaki saat tabrakan. Saat pengujian, titik pengukuran yang digunakan untuk sertifikasi tidak sesuai. Harusnya, Toyota melakukan pengujian lagi dengan titik pengukuran sesuai aturan dan datanya diserahkan.
Kasus keempat, adalah saat pengujian kebocoran bahan bakar dan dampak tabrakan bagian belakang selama pengembangan Crown pada tahun 2014 dan Sienta tahun 2015. Untuk proses sertifikasi, kondisi komponen pengujian yang digunakan lebih berat dengan bobot 1.800 kg. Padahal standar pengujian menggunakan bobot 1.100 kg. Seharusnya, Toyota melakukan tes ulang dengan menggunakan pembatas dengan bobot 1.100 kg dan data pengujian ulang itu yang harus diserahkan.
Kasus kelima, saat pengembangan Yaris Cross tahun 2020. Sebuah tes dilakukan untuk mengetahui dampak yang disebabkan pada kursi belakang saat ada sebuah koper ditempatkan di bagasi dalam kendaraan bergerak ketika terjadi tabrakan. Setelah regulasi berubah, ada persyaratan tambahan untuk blok bagasi. Namun Toyota menggunakan blok bagasi lama dan diajukan untuk memperoleh sertifikasi. Harusnya ada pengujian ulang dengan menggunakan blok baru dan data diserahkan ke pemerintah.
Terakhir, ditemukan pada Lexus RX tahun 2015 saat pengujian tenaga mesin. Dalam pengujian ini, tenaga yang ditargetkan tidak tercapai. Ketika masalah itu terjadi, pengujian seharusnya dihentikan untuk menyelidiki penyebabnya dan mengambil tindakan selanjutnya. Tapi yang terjadi, sistem kontrol mesin malah disesuaikan untuk memperoleh tenaga yang ditargetkan dan data itu digunakan untuk sertifikasi.
"Kasus pertama hingga kelima melibatkan data uji pengembangan yang diajukan untuk sertifikasi dan kasus keenam melibatkan produsen mobil yang melakukan uji sertifikasi sendiri dan menyerahkan data tersebut," urai Shinji.
(dry/din)
Komentar Terbanyak
Selamat Tinggal Calo, Bikin SIM Wajib Ikut Ujian Lengkap
Naik Taksi Terbang di Indonesia, Harganya Murah Meriah
Gaya Merakyat Anies Baswedan di Formula E Jakarta, Duduk di Tribun Murah