Toyota Fortuner dan Mitsubishi Pajero Sport merupakan SUV ladder frame yang cukup diterima masyarakat di Indonesia. Mobil ini ramai melenggang di jalan Indonesia, namun di sisi lain mendapat stigma arogan karena oknum pengemudinya melanggar aturan.
Terbaru, pengemudi SUV ladder frame menggunakan pelat nomor dinas polisi bukan miliknya, dan tak jarang menggunakan strobo, dan sirine yang tak sesuai peruntukannya. Alih-alih terlihat gagah, justru mendapat stigma negatif.
Pengamat Otomotif Yannes Martinus Pasaribu mengatakan cap arogansi menempel jika oknum pengendara mobil tersebut melanggar norma atau bertabrakan dengan aturan. Hal ini berlaku tak hanya untuk mobil SUV saja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada garis tipis antara percaya diri dan arogan. Penting untuk percaya diri dengan apa yang kita lakukan dan apa yang kita ketahui, tetapi pada saat kita berada di sebuah lingkungan sosial, kita tetap perlu mematuhi seluruh aturan tertulis maupun konvensi sosial yang ada," ujar Yannes saat dihubungi detikcom, Jumat, (21/5/2021).
"Siapapun yang benar-benar percaya pada dirinya sendiri cenderung akan dijuluki arogan oleh lingkungannya. Karena ia membangun ego yang semakin besar seiring dengan semakin menihilkan berbagai aturan yang ada di lingkungan tempat ia berada. Orang yang arogan cenderung percaya bahwa mereka memiliki hak terhadap orang lain, melalukan apapun yang ingin mereka lakukan, mengatakan apapun yang ingin mereka katakan, dan mempercayai apapun yang harus mereka percayai. Mereka manipulatif, dan mereka selalu 'benar'," sambungnya.
Desain mobil yang cenderung lebih bongsor juga seturut memengaruhi kepercayaan diri pengemudi. Akademisi dari Institut Teknologi Bandung ini menyebut mobil SUV ladder frame masuk kategori kendaraan alpha, menjadi lebih berani dan kuat.
"Desain yang ekspansif cenderung membangun citra power yang semakin dominan dan "alpha". Semua itu dihasilkan dari citra non verbal melalui dimensi, visual, audio, dan merek yang merepresentasikan citra eksklusif. Menjadi berbeda dan menjadi di atas yang lainnya," kata Yannes.
Lebih lanjut ia mengungkapkan dengan desain mobil yang lebih kekar tak jarang membuat pemiliknya menyalahgunakan demi kepentingan sepihak. Ia mengatakan pemiliknya menjadi sosok yang merasa lebih berkuasa.
"Jika pada awalnya desain yang ekspansif (dan eksklusif) dikonsumsi orang untuk memberikan penghargaan terhadap prestasinya, selanjutnya desain yang ekspansif tersebut cenderung akan memengaruhi karakteristik psikologi pemakainya. Ia akan cenderung berperilaku seakan-akan semakin hebat, kuat, berdaya dan berkausa atas yang lainnya. Intinya: Power tends to Corrupt," jelas Yannes.
Di sisi lain pengguna mobil SUV akan membentuk citra maskulin bagi siapapun yang mengemudikannya. Padahal keadaan tersebut bukan sesuatu yang benar-benar nyata atau hanya kepalsuan saja.
"Semakin ekspansif (dan eksklusif) sebuah desain akan semakin membuat pemakainya masuk kedalam situasi 'simulacrum'. Sebuah dunia realitas semu atau artifisial yang membawa persepsi manusia melalui penafsiran terhadap apa yang dianggap nyata dengan mengumpulkan serangkaian sinyal, petunjuk, dari konteks yang mengelilingi dirinya," kata Yannes.
"Sayangnya, realitas semu tadi, pada saat diyakini sebagai sebuah kenyataan yang riil, membuat pengguna desain yang ekspansif (dan eksklusif) tersebut semakin meyakini bahwa dia lah sosok yang paling powerful. Sosok yang (seakan-akan) berada di atas segalanya. Cara pandang yang koruptif ini lah yang kemudian bertabrakan dengan semua cara pandang umum yang ada di sekelilingnya."
Baca juga: Fortuner Pakai Pelat Polisi, Biar Apa Sih? |
"Cara pandang pengguna mobil SUV besar, supercar mahal, motor besar dan berbagai perangkat super mewah branded tanpa disadari akan terpengaruh oleh realitas semu tersebut. Mereka semua cenderung akan masuk ke dalam suatu kenyataan semua yang dibangun oleh aura dari produk yang mereka pakai yang seolah mereka benar-benar berada dalam realitas yang sesungguhnya," jelas Yannes.
"Yang menarik, logika ini cenderung berlaku pada semua hal, mulai dari jabatan, kekayaan, posisi politik, trah keluarga, keyakinan religi, dan seterusnya. Jika pada awalnya ada motto: "Its nice to be different," namun pada akhirnya ,"being different" yang ekspansif (dan eksklusif) tersebut akan menjadi sebuah gangguan bagi lingkungan sekitarnya," tutup Yannes.
(riar/lth)
Komentar Terbanyak
Selamat Tinggal Calo, Bikin SIM Wajib Ikut Ujian Lengkap
Naik Taksi Terbang di Indonesia, Harganya Murah Meriah
Jangan Pernah Pasang Stiker Happy Family di Mobil, Pokoknya Jangan!