Praka ANG yang menendang pemotor wanita ditahan dan kena sanksi disiplin. Cukupkah itu membuat jera dan perilaku arogan di jalan tak terulang?
Video pria berseragam TNI pengendara Yamaha Xmax menendang pemotor wanita yang tengah membonceng anak viral di sosial media. Belakangan diketahui pelaku tindak arogan itu adalah anggota TNI Praka Arya Novel Gideon.
Kadispenau Marsma Indan Gilang Buldansyah menjelaskan peristiwa tersebut terjadi pada Senin di Jalan Raya Hankam, Jatiwarna. Kala itu Praka ANG tengah dalam perjalanan pulang setelah selesai bertugas. Praka ANG yang tengah mengendarai motor itu dibuat kaget oleh motor di depan karena mengerem mendadak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Praka ANG mengendarai motor di belakang motor yang dikendarai Sri Dewi Kemuning. Ketika sampai di pertigaan jalan raya Hankam Mabes TNI, Jatiwarna, Bekasi, tiba-tiba, motor yang di depannya, melakukan pengereman mendadak," jelas Indan dikutip detikNews.
Akibat perilaku arogan itu, Praka ANG anggota Detasemen Pertahanan Udara (Denhanud) Kopasgat TNI AU disanksi dan ditahan. Praka ANG juga telah meminta maaf kepada Sri Dewi Kemuning, pemotor wanita yang ditendangnya.
Perilaku arogan yang dilakukan Praka ANG itu disebut juga dengan road rage. Road Rage merupakan perilaku agresif yang dilakukan oleh pengendara terhadap pengguna jalan lainnya. Dalam hal ini, pelaku merasa memiliki power sehingga bisa menganggap pihak lain lemah. Terlebih saat kejadian, Praka ANG menggunakan seragam dan motor bongsor Yamaha Xmax.
Ini bukan kali pertama perilaku arogan dilakukan oleh mereka yang menganggap punya kekuatan. Sebelumnya juga ada beberapa perilaku arogan dengan atribut seragam TNI ataupun berkendara mobil bongsor.
"Seperti kejadian Praka ANG yang sudah ditangkap dan dan penindakan itu bisa saja dipengaruhi oleh motor yang lebih besar kemudian pengguna jalan itu dainggap lebih kecil atau juga karena seragam dia itu bisa," jelas Praktisi keselamatan berkendara yang juga Founder Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC) Jusri Pulubuhu saat dihubungi detikOto.
Menurut Jusri, perilaku arogan ini ke depan bisa terulang. Pasalnya penegakan hukum masih kurang tegas. Mungkin bagi si pelaku, hukumannya akan berat tapi bagi masyarakat tidak akan menimbulkan efek jera.
"Jangan ada restorative justice atau damai hanya minta maaf ini terus memicu problem yang sama. Ini berulang kali jadi satu-satunya jalan keluar bagaimana pemerintah yang memiliki domain dalam menegakkan aturan lalu lintas itu perlu penegakan yang betul-betul enggak ada maaf gitu," tambah Jusri.
"Jadi bukan hanya berat internal juga, ini pidana kan, itu membahayakan itu bisa dianggap rencana pembunuhan, kalau dia hilang keseimbangan bagaimana? Bisa mati kan, bisa cedera minimal. Jadi tetap harus diambil oleh polisi dan sangat bagus tindakan proaktif yang dilakukan internal mereka, jadi ada double punishment," pungkas Jusri.
(dry/din)
Komentar Terbanyak
Selamat Tinggal Calo, Bikin SIM Wajib Ikut Ujian Lengkap
Naik Taksi Terbang di Indonesia, Harganya Murah Meriah
Kenapa Sih STNK Tak Berlaku Selamanya dan Harus Diperpanjang?