Penjualan Mobil di Indonesia Stagnan: Pajak Kelewat Mahal!

Penjualan Mobil di Indonesia Stagnan: Pajak Kelewat Mahal!

Luthfi Anshori - detikOto
Jumat, 01 Agu 2025 13:07 WIB
Concept for car insurance and financial.
Ilustrasi pajak mobil. Foto: Getty Images/boonchai wedmakawand
Jakarta -

Penjualan mobil di Indonesia stagnan dengan level penjualan 1 juta unit dalam 10 tahun terakhir. Salah satu faktor yang membuat hal itu terjadi karena daya beli konsumen yang lemah, sehubungan pajak mobil konvensional yang sangat mahal.

"Kita bandingkan (contohnya) mobil Toyota Avanza, itu dibuat di Indonesia. Dijual di Indonesia, juga diekspor ke negara lain termasuk di Malaysia. Di Indonesia, bayar pajak tahunannya Rp 5 juta, sementara di Malaysia, dengan produk yang sama (Avanza) pajak tahunan (cuma) Rp 500 ribu," buka Sekretaris Umum Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) Kukuh Kumara dalam acara Dialog Industri Otomotif Nasional di arena GIIAS 2025, ICE-BSD City, Tangerang, Kamis (31/7/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Toyota Avanza 1.3LToyota Avanza Foto: Dok. Toyota Astra Motor

"Kalau dibedah lagi, katakan ambil mobil yang harganya Rp 100 juta, keluar dari pabrik ke dealer, kalau beli bayarnya Rp 150 juta, bukan Rp 100 juta. Artinya Rp 50 jutanya adalah pajak. Begitu besarnya pajak itu, sehingga kemudian stagnan tadi (penjualannya). Inilah yang harus kita lihat," sambung Kukuh.

ADVERTISEMENT

Sebagai gambaran lagi, kelas menengah di Indonesia yang jumlahnya antara 10 hingga 11 juta saat ini sedang mengalami pelemahan daya beli. Sebab, pendapatan mereka hanya naik sedikit, sementara harga mobil baru terus meroket.

"Kajian menunjukkan, kelas menengah yang jumlah 10-11 juta itu, income-nya naiknya 3% 1 tahun. Namun, harga mobil yang menjadi incaran utama kelas menengah tadi, naiknya 7,5%. Jadi gap-nya makin lama makin besar. Ini yang harus diantisipasi," terang Kukuh.

Kukuh menambahkan, saat ini penjualan mobil di Indonesia sedang mengalami tekanan, dengan angka penjualan hanya 865 ribu unit pada tahun 2024. "Ini tidak boleh kita biarkan terus, kalau makin lama makin turun--mungkin pabrik mobilnya masih bertahan--tapi bagaimana dengan supplier? ada tier 1, tier 2, tier 3," jelas Kukuh.




(lua/dry)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads