Pemotor pengawal ambulans kembali menjadi sorotan. Kemarin, viral pengendara motor yang sedang mengawal ambulans disetop polisi dan ditilang.
Video viral itu menuai kontroversi. Di satu sisi, pengawal ambulans mungkin memiliki niat mulia agar perjalanan ambulans lancar. Di sisi lain, pengawal ambulans kerap menabrak aturan. Apalagi kalau mereka melengkapi motornya dengan sirine serta strobo.
"Karena ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh komunitas ini. Antara lain, melakukan protokol prioritas di jalan raya dan menggunakan alat isyarat bunyi dan sinar (strobo dan sirine). Belum lagi secara teknis, para pelaku pengawalan ini belum terbukti memiliki keahlian khusus dalam melakukan protokol prioritas di jalan raya. Hal ini dapat membahayakan pengguna jalan lain dan juga mengganggu kenyamanan. Perlu diketahui, bahwa di dalam peraturan, yang menjadi prioritas adalah ambulansnya bukan kendaraan yang melakukan pengawalan," kata Badan Kehormatan Road Safety Association (RSA) Rio Octaviano.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ambulans tanpa dikawal pun sudah memiliki prioritas dan pengendara lain harus memberikan jalan. Hal itu sesuai dengan pasal 134 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Disebutkan bahwa ambulans yang membawa orang sakit menjadi prioritas nomor dua setelah kendaraan pemadam kebakaran.
Kalaupun perlu pengawalan, yang berhak melakukan pengawalan dengan hak diskresinya adalah petugas kepolisian. Hal itu tertulis pada Pasal 135 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 yang menyebutkan, kendaraan yang mendapat hak utama harus dikawal oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau menggunakan isyarat lampu merah atau biru dan bunyi sirene.
"Ambulans sudah dilindungi undang-undang. Masyarakat wajib memberikan jalan karena prioritas. Faktanya juga, selama ini yang saya rasakan sendiri, kendaraan pasti minggir kok kalau ada ambulans (tanpa dikawal). POV mereka aja yang cari pembenaran. Kalau kata netizen main polisi-polisian (dengan pakai strobo dan sirine," ucap Rio.
Penggunaan strobo dan sirine sudah diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam Pasal tersebut, diungkapkan pihak yang boleh menggunakan bunyi dan sinar, yaitu hanya kendaraan tertentu, bukan kendaraan masyarakat umum. Berikut isi pasal 59 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009.
(1) Untuk kepentingan tertentu, Kendaraan Bermotor dapat dilengkapi dengan lampu isyarat dan/atau sirene.
(2) Lampu isyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas warna:
a. merah;
b. biru; dan
c. kuning.
(3) Lampu isyarat warna merah atau biru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b serta sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai
tanda Kendaraan Bermotor yang memiliki hak utama.
(4) Lampu isyarat warna kuning sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berfungsi sebagai tanda peringatan kepada Pengguna Jalan lain.
(5) Penggunaan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sebagai berikut:
a. lampu isyarat warna biru dan sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. lampu isyarat warna merah dan sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor tahanan, pengawalan Tentara Nasional Indonesia, pemadam kebakaran, ambulans, palang merah, rescue, dan jenazah; dan
c. lampu isyarat warna kuning tanpa sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor patroli jalan tol, pengawasan sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perawatan dan pembersihan fasilitas umum, menderek Kendaraan, dan angkutan barang khusus.
Motor-motor sipil yang menggunakan aksesori dan strobo terancam hukuman penjara dan denda uang. Dalam Pasal 287 ayat 4 dikatakan:
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar ketentuan mengenai penggunaan atau hak utama bagi Kendaraan Bermotor yang menggunakan alat peringatan dengan bunyi dan sinar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Pasal 106 ayat (4) huruf f, atau Pasal 134 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp 250.000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Latif Usman juga mengatakan bahwa masyarakat umum yang melakukan pengawalan terhadap ambulans tidak memiliki kompetensi. Menurut Latif, melakukan pengawalan oleh pengendara sipil yang tidak berkompeten justru berbahaya.
"Seandainya pun tidak dilakukan pengawalan, kalau sudah namanya ambulans sudah menyalakan lampu isyarat tersebut, pasti anggota Polri yang berjaga dan masyarakat yang melihat itu, akan memberikan prioritas tanpa dilakukan pengawalan oleh masyarakat yang memang tidak mempunyai kompetensi," ujar Latif dikutip detikNews.
"Apalagi mereka menggunakan rotator, ini kan istilahnya pengemudi lain akhirnya akan jadi tanda tanya, lah ini bukan polisi yang melakukan pengawalan. Kalau membahayakan kan, siapa yang bertanggung jawab. Misalnya orang disuruh minggir, kan akan jadi perdebatan di lapangan," ungkapnya.
Menurutnya, apabila yang mengawal tidak memiliki kompetensi, dikhawatirkan menimbulkan masalah. Hal itulah yang diantisipasi oleh pihak kepolisian.
"Nah kalau yang mengawal itu tidak berkompetensi, kemudian kendaraannya juga menyalahi aturan, itu kan akan menimbulkan permasalahan dengan pengguna kendaraan lain, itu yang kita antisipasi," jelasnya.
(rgr/din)
Komentar Terbanyak
Penjualan Mobil Ambrol, Ekonomi Indonesia Tidak Baik-baik Saja
Heboh Polantas Tanya 'SIM Jakarta', Begini Cerita di Baliknya
Duh! Ojol Ancam Mau Demo Sebulan Sekali