Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4, Level 3, dan Level 2 di Pulau Jawa dan Bali diperpanjang hingga 16 Agustus 2021. Perpanjangan PPKM ini dikhawatirkan membuat angkutan ilegal marak.
Hal itu disampaikan oleh Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat. Djoko mengkhawatirkan angkutan ilegal yang marak saat PPKM diperpanjang.
"Bisnis angkutan ilegal makin marak, bisnis angkutan legal makin terpuruk," kata Djoko melalui pesan WhatsApp.
Ada beberapa solusinya menurut Djoko untuk mengatasi kekhawatiran tersebut. Salah satunya adalah penegakan hukum terhadap angkutan ilegal.
"Solusinya menjalin komunikasi, sosialisasi peraturan, pembinaan, penegakan hukum, aturan disederhanakan," ucap Djoko.
Namun, sanksi yang mengancam angkutan ilegal saat ini dinilai kurang tegas. Sanksi untuk angkutan ilegal yang mengacu pada Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menurut Djoko sangat ringan. "Sehingga perlu merevisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan," sebutnya dalam keterangan tertulis.
Pasal 173 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan, Perusahaan Angkutan Umum yang menyelenggarakan angkutan orang dan/atau barang wajib memiliki (a) izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek; (b) izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek; dan/atau (c) izin penyelenggaraan angkutan barang khusus atau alat berat. Kewajiban memiliki izin tidak berlaku untuk (a) pengangkutan orang sakit dengan menggunakan ambulans; atau (b) pengangkutan jenazah.
Sanksinya ada di pasal 308 yang menyatakan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu, untuk setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum yang (a) tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan orang dalam trayek; (b) tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan orang tidak dalam trayek; (c) tidak memiliki izin menyelenggarakan angkutan barang khusus dan alat berat; atau (d) menyimpang dari izin yang ditentukan.
Djoko mengatakan, keberadaan angkutan umum pelat hitam yang ilegal karena ada kebutuhan antara pemilik kendaraan dan penumpang. Kebutuhan itu menjadi peluang beroperasinya angkutan umum pelat hitam sehingga berkembang pesat di masa pandemi.
"Apalagi angkutan umum legal, seperti Bus AKDP dan Bus AKAP tidak dapat beroperasi karena ada penyekatan di sejumlah ruas jalan di daerah. Belum lagi ditambah ada perlindungan dari oknum aparat hukum bekerja sama dengan perantara (makelar), turut menambah semakin tumbuh subur angkutan umum pelat hitam," katanya.
Djoko mencontohkan, di beberapa daerah seperti di Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, beroperasinya angkutan umum pelat hitam yang tidak terkendali berakibat menghilangnya trayek sejumlah Bus AKDP dan Bus AKAP. Bahkan, di sejumlah daerah, Bus AKDP tinggal menunggu waktu saja tidak dapat beroperasi lagi.
"Para pengusaha angkutan umum pelat hitam, makelar, oknum aparat melihat adanya keterbatasan Kementerian Perhubungan dan Dinas Perhubungan yang hanya bisa menertibkan angkutan di dalam terminal. Angkutan umum plat hitam beroperasi di luar terminal. Masyarakat yang mau ke terminal inginnya praktis, tanpa harus jalan jauh di dalam terminal, akhirnya menggunakan jasa angkutan umum plat hitam, walaupun konsumen tahu minim perlindungan," sebut Djoko.
Menurut Djoko, dampak negatif dari maraknya angkutan pelat hitam adalah angka penularan COVID-19 yang tinggi. Sebab, angkutan ilegal tidak mematuhi protokol kesehatan yang berlaku.
"(Dampak lainnya) kerugian bagi angkutan yang legal, angka kecelakaan yang tinggi, kurangnya perlindungan hukum bagi penumpang, dan berkurangnya pemasukan negara/daerah," kata Djoko.
Simak Video "Video: Menhub Ungkap Peran Jokowi untuk Peningkatan Angkutan Massal Perkotaan"
(rgr/din)