Pemprov DKI Jakarta tengah mempertimbangkan untuk kembali menerapkan kebijakan ganjil genap. Namun menurut Pengamat Tata Kota Nirwono Joga, aturan gage perlu diperluas se-Jabodetabek demi menekan mobilitas masyarakat.
"Menarik sebenarnya perlu dikaji juga beberapa wilayah seperti di Bogor sudah melakukan ganjil-genap pada akhir pekan, apakah ganjil-genap ini perlu diperluas tidak hanya se-DKI, tetapi juga Jabodetabek ini yang menurut saya perlu dipertimbangkan, yang tujuannya perlu diinformasikan kepada masyarakat yaitu untuk mengurangi mobilitas di masa pandemi," ujar Nirwono Joga dalam Forum Group Discussion bertajuk Pemberlakuan Kembali Ganjil Genap, Rabu (2/6/2021).
Dia melanjutkan jika gage diterapkan maka harus dipersiapkan armada angkutan umum yang memadai. "Tetapi ini harus didukung dengan layanan angkutan umum yang memadai baik armada dan waktu kedatangan dengan prokes yang ketat tadi," sambung dia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, pengamat transportasi Darmaningtyas menyatakan, jalan Jakarta lebih banyak didominasi oleh pemotor. Di sisi lain, angkutan umum masih belum terisi sesuai dengan kapasitas maksimal, sehingga dirasa ganjil-genap bisa dilakukan kembali di Jakarta.
"Sebetulnya gage bisa berfungsi untuk membatasi pergerakan bagi mereka yang tidak mau naik angkutan umum. Jadi ini sebenarnya merespon yang disampaikan oleh Mas Yoga tadi, oke, supaya PPKM-nya diperketat justru dengan gage, karena bagi mereka yang tidak mau menggunakan transportasi umum ya lebih baik tidak melakukan pergerakan. Tapi bagi yang mau menggunakan angkutan umum silahkan pindah ke angkutan umum, yang kebetulan masih cukup tersedia." kata dia.
Dalam catatan Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta telah terjadi kenaikan volume lalu lintas saat masa penerapan PPKM Mikro.
"Dari kecepatan rata-rata lalu lintas kendaraan bermotor yang kami pantau pada tiga lokasi pemantauan yaitu di Cipete, Dukuh Atas, dan Senayan terpantau bahwa khususnya di daerah Cipete ini terjadi kepadatan lalu lintas yang signifikan terlihat bahwa jika warnanya semakin kuning atau mengarah ke orange, maka pada area tersebut mulai terjadi kepadatan lalu lintas dan kemacetan yang signifikan," kata Syafrin dalam kesempatan tersebut.
"Konsekuensi dari pencabutan dan peniadaan ganjil-genap, adalah kemudian masyarakat dalam bermobilitas akan menggunakan kendaraan pribadi, tentu korelasi positifnya adalah volume lalu lintas dan penurunan kecepatan pada ruas jalan," sambung dia.
Di sisi lain, Nirwono tren kenaikan volume lalu lintas juga didukung berbagai aspek, salah satunya pola kerja work from home yang digaungkan dinilai sudah tak efektif.
"Konteksnya adalah menghindari kerumunan, dan yang terpenting membatasi mobilitas, mobilitas apa contohnya, misal aturan pelaksanaan work from office-nya, karena beberapa hari ini, mulai minggu ini sudah ada beberapa kantor dalam catatan kami sudah mulai aktif 50 persen bahkan sudah mulai menyentuh 75 dan 100 persen work from office-nya, artinya sudah ada peningkatan kerja."
"Ini kan tentu tidak selaras tentang semangat yang dibangun tentang work from home-nya, yang dioptimalkan 50 - 75 persen, misalnya," sambung dia.
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, Muhammad Halley Yudhistira, mengatakan bahwa kebijakan ganjil-genap berpotensi menurunkan kemacetan, namun dalam jangka panjang perlu kebijakan yang lebih komprehensif.
Dia menduga penyebabnya warga masih bisa 'mengakali' supaya tetap bisa melintas pakai kendaraan pribadi di wilayah perluasan gage. Misalnya dengan punya mobil berpelat ganjil dan genap, memanfaatkan kelonggaran jalan, dan melintasi jalur-jalur alternatif sehingga hanya memindahkan kemacetan saja.
"Bisa jadi orang pindah ke jalan lain yang mungkin kapasitasnya lebih rendah. Sehingga bisa jadi oke di gage berkurang nih 100 perjalanan, tapi pindah ke jalan lain meningkat 100 perjalanannya dan di saat yang sama kapasitasnya jauh di bawah bawah, jalan-jalan gage, akibatnya jauh lebih macet. Ya itu hipotesa, kita masih belum dapat data detailnya," ungkap dia.
Yudhistira menambahkan, kemacetan Jakarta juga bersumber dari kota-kota penyanggah, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
"Ada dua negara yang kita bandingkan mirip gage (pembatasan kendaraan pribadi,Red), ada Singapura yang punya ERP, dan London congestion charging sejak 2003. Di London terjadi 15 persen penurunan traffic, 30 persen penurunan delay, 50 persen pengguna mobil pindah ke transportasi umum. Di Singapura volume kemacetan turun mencapai 15 persen," jelas dia,
"Pertanyaannya kok kira-kira kita tidak turunnya (volume lalu lintas) sebesar itu? Hipotesis kami karena memang secara size penduduk Jakarta 10 juta di sensus terakhir, ini bahkan di tahun 2010, dan konteks Jakarta tidak bisa dilepaskan dari bodetabek size-nya kurang lebih 27 sampai 28 juta," sambung Yudhis.
(riar/din)
Komentar Terbanyak
Selamat Tinggal Calo, Bikin SIM Wajib Ikut Ujian Lengkap
Jangan Pernah Pasang Stiker Happy Family di Mobil, Pokoknya Jangan!
Naik Taksi Terbang di Indonesia, Harganya Murah Meriah