Langit Biru Cerah, Tapi Kenapa Jakarta Masuk 5 Besar Kota Terpolusi?

Langit Biru Cerah, Tapi Kenapa Jakarta Masuk 5 Besar Kota Terpolusi?

Ridwan Arifin - detikOto
Senin, 20 Apr 2020 17:16 WIB
Foto udara suasana gedung bertingkat di kawasan Jalan Jendral Sudirman, Jakarta, Jumat (3/4/2020). Memasuki minggu ketiga imbauan kerja dari rumah atau work from home (WFH), kualitas udara di Jakarta terus membaik seiring dengan minimnya aktivitas di Ibu Kota. Berdasarkan data dari situs pemantauan udara AirVisual.com pada Kamis 3 April pada pukul 12.00 WIB, Jakarta tercatat sebagai kota dengan indeks kualitas udara di angka 55 atau masuk dalam kategori sedang. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/pras.
Kualitas udara Jakarta sempat membaik Foto: ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA
Jakarta -

Di tengah pandemi virus Corona, banyak masyarakat work from home. Hal ini membuat langit Jakarta terlihat bersih.

Suasana langit Jakarta yang berwarna biru cerah sempat diunggah beberapa warganet. Namun saat memasuki Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) merujuk data AirVisual per Senin, (20/4/2020) pagi tadi, Jakarta masuk 5 besar sebagai kota berpolusi di dunia.

Tingkat polusi udara Jakarta berada di bawah Delhi (India), Chiang Mai (Thailand), dan Lahore (Pakistan).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Data itu menunjukkan pada pukul 08.00 WIB, Air Quality Index (AQI) Jakarta berada di angka 161 atau kategori tidak sehat disertai kandungan PM2.5 di Jakarta berada di angka 75,3 Β΅g/mΒ³ pada 08.00 WIB, sedangkan pada pukul 09.00 WIB, turun menjadi 58 Β΅g/mΒ³.

Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin membenarkan kualitas udara Jakarta saat PSBB menurun dibanding awal penerapan social distancing.

ADVERTISEMENT

"Benar, kemarin (kualitas udara membaik), 10 hari kedua benar. Tapi sekarang kan sudah tidak biru lagi kan," ujar pria yang akrab disapa Puput saat dihubungi detikcom, Senin (20/4/2020).

Dalam pantauan KPBB, tidak menggunakan data AirVisual melainkan mengukur kualitas udara berdasarkan Ambient Air Quality Monitoring Station (Stasiun Pemantau Kualitas Udara Ambient/AAQMS) dan Roadside Air Quality Monitoring (Pemantauan Kualitas Udara Pinggir Jalan). Tercatat bersihnya langit Jakarta terhitung dalam 10 hari kedua usai penerapan social distancing.

"Antara tanggal 26 Maret sampai dengan 4 April, itu membaik, jadi rata-rata 18,10 Β΅g/m3 (PM 2.5). Secara umum dapat dikatakan kategori baik karena mendekati angka 15 Β΅g/m3," papar pria yang akrab disapa Puput ini.

Puput melanjutkan, lewat tanggal tersebut kualitas udara Jakarta kemudian kembali turun.

"Tapi begitu masuk ketiga, itu balik lagi memang tidak separah di hari pertama. Naik ke posisi 28 Β΅g/m3, sampai sekarang itu posisi 28 Β΅g/m3 sampai 30 Β΅g/m3," sambung Puput.

Lalu apa yang menyebabkan kualitas udara Jakarta memburuk saat penerapan PSBB, apakah karena Pembangkit Tenaga Listrik Uap?

Tidak dipungkiri jika kendaraan bermotor merupakan salah satu penyumbang polusi terbesar di Jakarta. Puput menjelaskan kenaikan tingkat polusi itu lebih besar faktor disebabkan karena kenaikan mobilitas kendaraan bermotor dari Bodetabek yang mengarah ke Jakarta.

"Katakanlah Sudirman-Thamrin sepi (saat PSBB), tapi lihat Lenteng Agung, Radio Dalam, kemudian Jalan Bekasi Timur. Belum lagi Bodetabek larinya ke DKI semua, kalaupun turun paling 20 persen." jelas Puput.

Dalam konteks ini ia menjelaskan kendaraan paling menyumbang tinggi tingkat polusi. Menurutnya kebijakan PSBB tidak bisa berjalan sendiri, apalagi jika diharapkan untuk menekan polusi.

"Pada waktu itu (social distancing-Red) orang benar-benar serius tidak keluar rumah dan tidak kemana-mana. Tetapi kemudian ketika diterapkan PSBB ini kan terjadi silang pendapat antara Istana, Pemda DKI Jakarta, dengan pak Luhut."

"Masyarakat pasti menilai ini serius tidak ini. Akhirnya masyarakat wajar saja jika keluar rumah. Toh kalau mereka tidak keluar rumah, masyarakat juga tidak punya penghasilan. Akhirnya mereka berbondong-bondong keluar rumah lagi.

"DKI Jakarta sendiri dengan kebijakan PSBB, PSBB yang banci. Faktanya masih berjibun kendaraan di jalan."

"Kemudian di JORR, truk-truk masih lalu lalang. Belum lagi yang Bodetabek, larinya ke DKI semua."

"Kalau yang begini kan angin dari Timur dan Tenggara lari ke Jakarta. Begitu angin ini bertiup kualitas Jakarta langsung menurun drastis. Kalau Tenggara dari JORR, Jagorawi, Jalan Tol Cibitung, Cipali dan Bodetabek, larinya ke situ (Jakarta-Red)," kata Puput.

Puput membantah bahwa penyumbang polusi Jakarta salah satunya berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Suralaya.

"PLTU kalau musim penghujan ini antara Oktober sampai April ini anginnya, angin Barat Laut, anginnya berasal dari Laut China Selatan. Nah kalaupun ada yang datang ke sini kemungkinan datang dari Suralaya, tetapi problemnya, kawasan yang dilewati PLTU Suralaya itu bersih kualitas udaranya,"

"Kalau dikatakan dari Suralaya, di sekitar Suralaya jadi kuning (kualitas udara sedang), kenapa yang di Jakarta jadi merah (berbahaya kualitas udara). Berarti polutannya tidak berasal dari Suralaya, polutan ini dari Bodetabek saja," tutup dia.


Hide Ads