Sekitar 120 produsen, distributor, dan importir pelumas yang tergabung dalam Perhimpunan Distributor, Importir dan Produsen Pelumas Indonesia (Perdippi) menolak dengan tegas sertifikasi SNI tersebut.
Perdippi menaungi sejumlah merek ternama seperti ExxonMobil, Top1, Total, BM1, dan ratusan merek pelumas lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Wacana SNI tidak memiliki dasar yang membawa untung bagi ekonomi nasional. Rujukannya adalah ekonomi nasional bukan kepentingan pengusaha. Saya di Perdippi tidak mengutamakan pengusaha tapi kepentingan pengguna konsumen pelumas. Kalau konsumen sehat, kita juga sehat," ujar pria yang terlihat bugar di usia yang hampir 80 tahun ini.
Kepada beberapa wartawan di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (5/12/2016) Paul mengatakan sejak 10 tahun lalu, Perdippi dengan jelas menolak pelaksanaan SNI pelumas.
"SNI wajib tidak memiliki dasar yang menguntungkan bagi ekonomi nasional. Bahkan akan sangat mengganggu pengadaan dan persediaan pelumas untuk kegiatan ekonomi. Perdippi keberatan dengan SNI Wajib untuk pelumas," ujarnya.
Padahal selama ini ada standar tertentu yang harus diikuti oleh produsen pelumas di Indonesia. Standar itu adalah NPT alias Nomor Pelumas Terdaftar yang diterbitkan oleh Kementerian ESDM. Dalam setiap pengajuan NPT, produsen diminta menyerahkan spesifikasi, bahkan sampai formula pelumas dan sampel pelumas untuk diuji.
Jika ada SNI wajib tidak ada jaminan mutu pelumas karena semua persyaratan kimia dan fisika sudah dimasukkan ke NPT.
"Tanpa NPT, produsen bisa dipidana," tambah Sekjen Perdippi Heri Djohan.
Dengan demikian jika SNI wajib pelumas diterapkan maka akan terjadi duplikasi pengaturan pelumas di Indonesia. Padahal menurut mereka item yang dites di NPT lebih banyak ketimbang SNI.
Sales Manager Industrial Lubricants ExxonMobil Sigit Wibowo Wagito mempertanyakan proses pengujian untuk SNI. Soalnya dalam setiap produk pelumas biasanya terdiri dari aditif-aditif yang disuplai dari berbagai perusahaan. Dari perusahaan itu ada yang ada di luar negeri. Jadi jika ada pengujian SNI yang biasanya dilakukan setiap setahun sekali, pengujiannya akan mahal sekali. "Siapa yang akan membayar sertifikasi itu apakah pemerintah atau produsen," ujarnya.
Imbasnya jika SNI diterapkan akan meningkatkan harga pelumas. Karena produsen pasti akan membebankan biaya yang lebih mahal itu ke konsumen.
Wakil Sekjen Perdippi yang juga perwakilan dari BM1, Lukas Sidharta mengatakan SNI pelumas tidak sesuai dengan kebijakan penyederhanaan aturan dari Presiden Joko Widodo.
"Dari Pak Jokowi kan disebutkan kalau sudah ada standarnya lanjutkan kalau kebanyakan sertifikasi dikurangi, untuk mengurangi dwelling time," ujarnya.
Dia menambahkan SNI pelumas ini beda dengan SNI untuk produk helm. "Kalau helm dulu belum ada sertifikasi lokalnya, makanya ada SNI, tapi kan kalau untuk pelumas sudah ada NPT," ujarnya.
SNI pelumas juga akan membuat bingung aparat Bea Cukai karena Bea Cukai dalam meloloskan impor pelumas selalu mengacu pada NPT, akibatnya dwelling time akan bertambah lama. Padahal pelumas bukan hanya untuk mesin otomotif tapi juga traktor petani, sampai mesin pacu jantung.
"Bayangkan kalau tiba-tiba mesin pacu jantung rusak karena tidak ada pelumas," ujarnya.
Dengan demikian alih-alih menerapkan SNI pelumas mereka meminta proses pengawasan mutu pelumas berdasarkan NPT saja yang diperketat. (ddn/rgr)












































Komentar Terbanyak
Kemenangan Gila Pebalap Indonesia Kiandra di Barcelona: Start 24, Finis ke-1
Warga Rela Antre Panjang di SPBU Swasta, Ketimbang Isi Pertalite Was-was Brebet
Wuling Darion Meluncur di Indonesia: Ada EV dan PHEV, Harga Mulai Rp 356 Juta