Esemka Bukan Mobnas Terus Mobil Apa?

Esemka Bukan Mobnas Terus Mobil Apa?

Rangga Rahadiansyah - detikOto
Selasa, 13 Agu 2019 17:27 WIB
Mobil pikap yang disebut-sebut sebagai mobil Esemka di pabrik di Boyolali. Foto: Ragil Ajiyanto
Jakarta - Nama Esemka kembali mencuat. Pihak Esemka buka-bukaan soal mobil yang akan diproduksi di dalam negeri. Namun, Presiden Direktur PT Solo Manufaktur Kreasi (SMK) Eddy Wirajaya tak mau Esemka disebut sebagai mobil nasional.

Eddy menegaskan Esemka bakal diproduksi di Indonesia. "Kami bukan mobil nasional, kami mobil produksi di Indonesia. Jadi jangan salah persepsi soal mobil nasional kan cukup luas pengertiannya," ungkap Eddy di Kantor Kementerian Perindustrianm Jakarta, Selasa (13/8/2019).



SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kalau bukan mobil nasional, lalu Esemka disebut mobil apa? Ya, definisi mobil nasional memang luas. Malah sampai sekarang belum ada definisi pasti soal mobil nasional alias mobnas. Masih diperdebatkan banyak kalangan.

Beberapa waktu lalu, Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan (IMATAP) Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika, sendiri belum bisa menilai definisi mobil nasional itu seperti apa. Ada yang bilang mobil yang diproduksi di Indonesia dengan serapan komponen lokal 80% ke atas setara dengan mobil nasional.

"Kalau mobnas ini diartikan mobil yang lokal kontennya tinggi, itu mobil kelompok LCGC itu mereka di atas 80 persen komponen lokalnya sudah tinggi, nilai tambah tinggi, volumenya juga tambah besar, kita juga ekspor. Contoh beberapa brand kan sudah melakukan ekspor," kata Putu.

Kalau pakai definisi bahwa mobil nasional adalah mobil yang diproduksi di dalam negeri dengan lebih dari 80% komponen lokal, berarti Indonesia sudah lama punya mobil nasional dan tak perlu diperdebatkan lagi. Soalnya, merek Jepang yang sudah punya pabrik di Indonesia bisa memproduksi mobil di dalam negeri dengan komponen lokal hingga lebih dari 90%. Contohnya mobil low cost green car (LCGC) Toyota-Daihatsu yang diklaim memiliki komponen lokal lebih dari 90%.

Misalnya adalah Calya-Sigra, mobil Toyota-Daihatsu yang mengisi segmen LCGC itu diproduksi di pabrik Daihatsu di Karawang. Direktur Marketing PT Astra Daihatsu Motor (ADM) Amelia Tjandra bilang, kedua mobil itu menyerap 94% Tingkat Kandungan Dalam Negeri alias TKDN.

Untuk mobil di segmen LCGC atau yang biasa disebut KBH2 (Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau) seperti Calya-Sigra memang harus memenuhi persyaratan TKDN sebesar 80% persen secara bertahap agar tidak dikenakan PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah). Itu sesuai dengan Permenperin No. 33 tahun 2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau.



Bicara komponen lokal, kata Eddy Esemka telah menggunakan banyak komponen dalam negeri. "Kita bukan mobil nasional, tapi kita produksi di Indonesia. Pure Indonesia. Kami harapkan kebanggaan kita merah putih itu," lanjut Eddy.

Soal mobil nasional, dulu sempat ada perkumpulan beberapa perusahaan yang mengembangkan kendaraan bermotor merek Indonesia. Perkumpulan itu bernama Asosiasi Industri Automotive Nusantara (Asia Nusa). Asosiasi yang dideklarasikan pada Februari 2010 itu beranggotakan beberapa merek mobil dari Indonesia seperti Fin Komodo, AG-Tawon, GEA, Kancil, Wakaba, Merapi dan Borneo. Namun, tak semuanya eksis hingga saat ini. Hanya Fin Komodo yang masih bertahan.

Dewa Yuniardi yang saat itu menjabat sebagai Ketua Bidang Marketing dan Komunikasi Asia Nusa menyebut, ada tiga aspek pokok sebuah mobil nasional. Pertama, menurutnya, mobil nasional harus dimiliki orang Indonesia. Kedua pemegang hak patennya adalah orang Indonesia. Dan ketiga, pemegang mereknya adalah orang Indonesia.

Pada November 2018 lalu, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kemenperin, Harjanto, ditanya soal mobil nasional. Dia bilang intinya komponen lokal bisa dibangun.

Harjanto mencontohkan, seperti mobil pedesaan atau AMMDes yang dibangun dengan sangat cepat menggunakan komponen lokal.

"Kayak misalnya kita buat AMMDes itu kan prosesnya cepat sekali, hanya 8 bulan. Kenapa kita bisa lakukan itu? Karena industri otomotif dari tier satu sampai tiga itu sudah ada di dalam negeri. Nah sekarang kita tinggal manfaatkan komponen dan parts yang tersedia dalam negeri untuk mengembangkan brand-brand baru. Di antaranya kita bisa buktikan bahwa AMMDes itu bisa," ujarnya saat itu.

Menyinggung kendaraan pedesaan, beberapa pihak memang terlibat mengembangkan kendaraan yang memudahkan produktivitas di pedesaan. Kendaraan pedesaan itu disebut murni dibuat dan dikembangkan di Indonesia. PT Kreasi Mandiri Wintor Indonesia (KMWI) selaku manufaktur Kendaraan Pedesaan atau Alat Mekanis Multiguna Pedesaan (AMMDes) sudah siap menjual kendaraan pedesaan. Rencananya penjualan akan dibuka melalui katalog elektronik atau e-catalogue pada bulan Oktober 2019.

Saat ini AMMDes memiliki 10 pilihan yang memenuhi berbagai kebutuhan di desa. Mulai dari pertanian, logistik dan tranportasi. Untuk harganya paling murah ditaksir mencapai Rp 70 juta. Tapi, AMMDes baru menggunakan 70% komponen lokal.

Hari ini, Selasa (13/8/2019), Harjanto saat ditemui di kantornya mengatakan Esemka merupakan brand lokal. Dia berharap merek lokal itu bisa menjadi mobil nasional.

"Jadi saya minta (kepada Esemka) kalau bikin mobil ya pakai komponen dalam negeri. Jadi lokal content bisa ditingkatkan. Nah kebetulan Esemka di Solo ini brand lokal. Kami berharap merek lokal ini jadi national car utuh. Bukan hanya lokal content, tapi brand-nya juga," ucapnya.

Meski menggunakan banyak komponen lokal dalam merakit mobil-mobilnya, Esemka ogah mendapat keistimewaan khusus dari pemerintah. Seperti halnya pabrikan otomotif yang bermain dalam negeri, Esemka bakal mengikuti regulasi yang sudah dibuat oleh pemerintah.

"Kalau itu kami ikut regulasi aja, kami nggak mau special treatment kita ikutin regulasi normal-normal aja," ungkap Eddy.


(rgr/ddn)

Hide Ads