Membiarkan Anak-anak Nyetir, Berarti Mengajari Mereka Melanggar Hukum

#nodrivingunder17

Membiarkan Anak-anak Nyetir, Berarti Mengajari Mereka Melanggar Hukum

Arif Arianto - detikOto
Kamis, 09 Jul 2015 12:12 WIB
Jakarta -

Sebuah fakta yang hampir saban hari kita temui di jalanan adalah banyaknya anak-anak usia sekolah yang belum genap berusia 17 tahun yang dengan bebasnya mengenai sepeda motor berlalu-lalang di jalanan.

Padahal, perilaku mereka jelas-jelas melanggar hukum atau Undang-undang, sehingga membiarkan mereka bermotor di jalan sama artinya mengajari mereka tak peduli terhadap hukum.

Sebuah argumen yang sangat sederhana cukup untuk mendasari pendapat seperti itu. Pasal 281 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu-lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan, β€œSetiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah),”.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara pasal 81 undang-undang itu menyeyatakan, seseorang berhak memiliki SIM C yang menjadi syarat seseorang untuk berhak mengendai kendaraan bermotor roda adalah mereka yang minimal berusia 17 tahun.

Dengan dua pasal itu saja, cukup untuk menjadi sebuah vonis bahwa anak-anak di bawah umur terlarang untuk mengendarai sepeda motor.

Larangan akan semakin kuat jika ditelaah dan dicermati jika melihat potensi bahaya yang bisa muncul jika bocah-bocah tersebut bisa dengan bebas berkeliaran memacu kendaraan bermotor di jalanan.

Meski tak selalu, namun fakta yang tak bisa dipungkiri adalah, banyaknya pengemdara motor berusia anak-anak yang mengendarai motor bertiga, tanpa helem, tak mengindahkan rambu, melawan arus, serta memacu kendaraannya dalam kecepatan tinggi melebihi batas yang ditetapkan di suatu kawasan.

Banyak anak-anak yang menunggangi motor dan berkeliaran di jalan raya juga bisa dilihat dari data yang dirilis Korps Lalu-lintas Kepolisian Republik Indonesia beberapa waktu lalu.

Data itu menyebut, sepanjang 2014 lalu jumlah kecelakaan lalu lintas yang terjadi mencapai 91.000 lebih kejadian dan 70 persen melibatkan pengendara sepeda motor, baik sebagai korban maupun pelaku.

Sementara, dari jumlah pengguna motor itu yang tanpa membawa SIM C mencapai 21.000 orang. Mirisnya, sebagian diantaranya adalah anak-anak.

Jika pengendara motor di bawah umur itu dikhawatirkan memiliki potensi risiko yang mebahayakan itu bisa dipahami. Secara teori psikologi, seorang ahli psikologi remaja, Stanley Hall, mengatakan usia remaja memang masa yang paling indah.

Namun, kata Hall, di balik itu semua keindahan itu juga terdapat gejolak yang luar biasa karena merupakan masa remaja juga penuh dengan badai dan tekanan (storm and stress) serta penuh dengan permasalahan. Maklum, pada usia itu anak-anak remaja dalam masa transnisi mencari jati diri.

Hanya, jika proses pencarian jati diri dan ekspresi melepaskan stres tersebut disalurkan dengan kesenangan mengendarai motor tentunya sangatlah berbahaya. Dan cara seperti itu dirasa paling menyenangkan karena memiliki sensasi dan tantangan tersendiri.

Terlebih jika orang tua mengizinkannya, atau malah bangga jika anak-anak mereka yang masih di bawah umur sudah bisa mengendarai sepeda motor untuk pergi ke mana-mana. Tak sedikit diantara mereka yang berdalih demi kasih sayangnya kepada sang buah hati.

Namun sadarkah mereka, sejatinya di balik itu semua mereka membiarkan para generasi penerus bangsa bertaruh dengan bahaya. Tak hanya itu. Mengizinkan atau membiarkan mereka menggeber motor secara tak langsung menjarinya untuk melanggar hukum atau undang-undang.

Jadi, masihkah kita akan bersikap permisif bagi mereka?

(arf/ddn)

Hide Ads