Harga Mobil di Indonesia Lebih Mahal Dibanding Thailand, Ternyata Ini Sebabnya

Harga Mobil di Indonesia Lebih Mahal Dibanding Thailand, Ternyata Ini Sebabnya

Ridwan Arifin - detikOto
Jumat, 12 Jul 2024 07:16 WIB
Mobil hybrid Toyota
Ilustrasi mobil hybrid. Thailand memberikan banyak insentif terhadap mobil ramah lingkungan, yang membuat harganya jadi lebih murah dibanding di Indonesia (Foto: PT TMMIN)
Jakarta -

Kementerian Perindustrian mengungkapkan kalau instrumen pengenaan pajak pada mobil di Thailand masih lebih kompetitif, khususnya untuk yang sudah mengadopsi teknologi ramah lingkungan.

Imbas pajak yang lebih kompetitif, harga jual kendaraan juga semakin murah.

Contohnya saja Wuling BinguoEV, di Thailand harganya mulai Rp 180 jutaan. Sementara mobil listrik itu dijual Rp 300 jutaan saat di Indonesia, padahal Wuling juga sudah memproduksi lokal BinguoEV di Cikarang, Jawa Barat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ambil contoh model lain mobil hybrid. Toyota Yaris Cross Hybrid yang dijual mulai dari 789 ribu Baht atau setara Rp 352 jutaan. Sementara di Indonesia tembus Rp 440 juta. Ada selisih hampir Rp 100 juta untuk mobil hybrid.

Kemudian Honda CR-V Hybrid, mobil SUV itu dijual Rp 814,4 juta di Indonesia. Sedangkan di Thailand mulai dari 1.589.000 baht atau setara Rp 710 juta.

ADVERTISEMENT

Plt. Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Putu Juli Ardika menjelaskan pungutan pajak mobil ramah lingkungan lebih kecil Thailand ketimbang Indonesia.

"Apa yang mesti kita lakukan untuk mendorong industri ini. Ada hal-hal yang belum kita lakukan bagaimana seperti disampaikan sebelumnya, insentif ini diperluas untuk yang low emission vehicle, karena kita itu yang BEV hampir sama dengan negara lain, tapi untuk lainnya, low emission vehicles masih jauh sekali dengan negara lain," ujar Putu di Jakarta, Rabu (10/7/2024).

"Saya mungkin kasih gambaran, kalau di Thailand untuk yang low emission vehicles, itu dia bisa sebagai pajak dan lain-lainnya itu sekitar 7-8 persen, kita masih di 23 sampai 33 persen," tambahnya lagi.

Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara juga menyebut penyebab harga mobil di Indonesia tinggi lantaran hampir separuhnya merupakan instrumen perpajakan.

"Harga mobil ini juga diskusi dengan Pemda (pemerintah daerah), karena BBNKB itu menjadi isu. itu (pajak) yang membuat harga mobil ini luar biasa mahal, karena bila ditotal bisa lebih dari 30-40 persen itu adalah bentuk pajak," tambah dia.

"Namun mereka tidak mau kehilangan karena rata-rata pemerintah provinsi 60-80 persen PAD (Pendapatan Asli Daerah) nya dari pajak kendaraan bermotor," sambungnya lagi.

Insentif yang dibutuhkan mobil ramah lingkungan

Seperti diketahui, karpet spesial berupa kebijakan insentif fiskal di Indonesia baru didapatkan kepada model Battery Electric Vehicles (BEV).

Saat ini pemerintah memberi karpet merah untuk produsen mobil listrik berbasis battery electric. Misalnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2021, mobil listrik dibebaskan dari pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Sedangkan mobil hybrid dikenakan PPnBM sebesar 15 persen dari dasar pengenaan pajak. Dasar pengenaan pajak itu besarannya bervariasi mulai dari 40 persen hingga 80 persen dari harga jual. Tergantung dari tingkat kapasitas mesin, konsumsi BBM, dan emisi yang dikeluarkan. Prinsipnya makin irit dan ramah lingkungan maka dikenakan PPnBM paling rendah.

Tidak hanya PPnBM yang berubah, tahun lalu pemerintah juga sudah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dikenakan untuk mobil baru di Indonesia adalah sebesar 11% dari harga jual. Tarif PPN ini biasanya sudah termasuk dalam harga on the road (OTR). Tapi pemerintah memberikan relaksasi bagi mobil listrik dengan hanya dikenakan tarif PPN satu persen.

Bukan cuma itu, pemerintah memberikan insentif lebih luas untuk kendaraan listrik. Pembelian mobil dan pajak tahunan mobil dan motor listrik berbasis baterai bakal lebih murah ketimbang kendaraan bensin.

Aturan ini berlaku sejak diundangkan pada 11 Mei 2023 yang tercantum Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama, dan Pajak Alat Berat Tahun 2023. Keringanan itu meliputi pembebasan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB). Jadi motor dan mobil listrik yang berbasis baterai atau Battery Electric Vehicles (BEV) tidak dikenakan pajak lagi.

Diharapkan insentif serupa juga bisa diterapkan pada mobil lain yang punya emisi rendah. Hybrid salah satunya, mobil yang mengusung mesin konvensional dan baterai itu juga berperan dan menekan emisi gas buang sebagaimana dicanangkan pemerintah.

"Kita mempunyai sumber daya untuk baterainya, jadi tidak hanya untuk BEV tapi juga low emission vehicles dan itu harus segera didorong dengan insentif yang serupa saudaranya, sehingga paling tidak ini penelitian kita di 2018, 6 perguruan tinggi, itu yang low emission bisa menurunkan emisi sampai dengan 49 persen," jelas Putu.

"Penghematan karbon itu dari pembakaran, berarti dia bisa mengurangi konsumsi bahan bakar dan juga kalau kita mau menurunkan ICE, cara ini yang paling bagus, karena berdekatan sehingga perlu insentif dulu, sehingga migrasinya bisa jalan," jelas dia.

Berdasarkan data wholesales (distribusi pabrik ke dealer) Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan sepanjang Januari-Juni tahun 2024 baru mencapai 408.012 atau minus 19,4 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Padahal penjualan bisa tembus setengah juta unit atau tepatnya 506.427 unit pada semester pertama 2023.

Insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) seperti masa pandemi Covid-19 lalu bisa menjadi angin segar bagi pelaku usaha otomotif yang terpukul. Variasi pemberlakuan insentif PPnBM yang berjangka membuat para pelaku usaha otomotif antusias baik pada tahapan produksi maupun tahapan penjualan.

"Kita diskusi dalam kondisi seperti ini teman-teman (anggota Gaikindo) banyak yang menahan, sebab kalau dinaikkan bukan naik malah jeblok," kata Kukuh Kumara.

"Pajak daerah mereka maunya dapat banyak, sekali tembak 40 persen (besaran pajak dari total harga mobil), tapi 40 persen nggak ada jualan, kan nol pak. Itu yang berulang-ulang kami sampaikan," tambah dia.

"Padahal yang kita harapkan adalah seperti PPnBM DTP, kalau ini kemudian ini diturunkan, penjualan naik gak? ternyata terbukti pada tahun 2021 naik dari 500 menjadi 800 ribu dalam waktu sekian bulan, ini perlu kita jaga," jelasnya lagi.

Hal senada soal insentif sebagai solusi jangka pendek adalah program PPnBM ditanggung pemerintah seperti yang dilakukan pada masa pandemi Covid-19.

"Di satu sisi mungkin PPnBM turun, tapi di satu sisi PPn akan meningkat, termasuk PKB, akan memperluas produksi mobil, output industri suku cadang meningkat, ktia ada penginkatan PPh badan, ataupun PPh orang pribadi," kata Peneliti Senior LPEM FEB UI, Riyanto.

"Dari situ dari dampaknya ada penciptaan lapangan kerja, meningkatkan investasi kita, multiplier effect," jelas dia lagi.




(riar/din)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads