Penyebabnya karena kebanyakan orang Indonesia berpikir mengenai mobil sebagai barang investasi, bukan alat transportasi. Alhasil, banyak konsumen yang cenderung memilih brand-brand mapan agar ketika mobil itu dijual lagi, depresiasi harga mobil bekas tidak terlalu tinggi.
"Kebanyakan orang Indonesia selalu berpikir mobil itu barang investasi. Gampang ngeceknya. Waktu dulu saya masih di cabang, melayani customer. Dari 10 customer yang saya temui, yang ngobrol sama saya, semuanya bilang kayak gini, 'Nanti kalau saya jual 2 tahun lagi, berapa harganya?' Itu tanda-tanda bahwa customer melihat mobil sebagai barang investasi," terang Presiden Direktur Mobil88 Halomoan Fischer Lumbantoruan, di Jakarta Selatan, Selasa (18/12/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Potensi Mobil China di Pasar Mobil Bekas |
Meski demikian, konsumen Indonesia tidak selalu berpatokan pada faktor resale value. Banyak juga yang kemudian menilai sebuah mobil dari pertimbangan harga serta fitur-fitur yang ditawarkan.
"Kalau orang yang price sensitive (sensitif terhadap harga), mikirnya nggak ke resale value lagi, tapi sudah menilai 'dengan uang segini, sudah bisa dapat mobil baru (berkualitas)'," terang Fischer.
Lalu pertanyaannya? Di segmen apa konsumen mobil yang sensitif terhadap harga? "Kalau bicara di otomotif, di rentang harga Rp 80 sampai Rp 150 juta banyak yang konsumen price sensitive," pungkas Fischer. (lua/rgr)
Komentar Terbanyak
Jangan Kaget! Biaya Tes Psikologi SIM Naik, Sekarang Jadi Segini
Jangan Pernah Pasang Stiker Happy Family di Mobil, Pokoknya Jangan!
Naik Taksi Terbang di Indonesia, Harganya Murah Meriah