Tekan Polusi, Toyota Siapkan Opsi Konversi Mobil Listrik

Tekan Polusi, Toyota Siapkan Opsi Konversi Mobil Listrik

Ridwan Arifin - detikOto
Rabu, 24 Jan 2024 09:06 WIB
Lebih dari 66 unit mobil listrik Toyota bZ4X digunakan sebagai kendaraan operasional di KTT AIS pada 10-11 Oktober 2023.
Mobil listrik Toyota Bz4X (Foto: Toyota Astra Motor)
Jakarta -

Indonesia berambisi untuk mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060, atau lebih cepat. Dari sektor transportasi didorong untuk penggunaan elektrifikasi, khususnya mobil battery electric vehicles (BEV). Tapi untuk mengurangi emisi lebih cepat, tidak cukup hanya mengandalkan mobil listrik.

Indonesia telah menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca hingga tahun 2030. Pada dukungan edisi Indonesia, target pengurangan emisi gas rumah kaca nasional yaitu sebesar 29% atau setara dengan 834 juta ton CO2 ekuivalen, dengan usaha sendiri, atau hingga 41% atau setara dengan 1,185 juta ton CO2 ekuivalen dengan dukungan internasional yang memadai.

Upaya ini tentu bukan perkara 'sekadar janji', tetapi pilihan yang mesti dilalui oleh entitas negara dan bisnis untuk tetap dapat kompetitif.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia Bob Azzam, khususnya di pasar otomotif, target pengurangan emisi sulit tercapai jika hanya mengandalkan penjualan mobil baru. Bob bilang perlunya melibatkan mobil bensin lama lalu dikonversi menjadi mobil listrik.

"Kita masih memikirkan bisnis modelnya, tapi saat ini begini. Sekarang ada 10 juta mobil yang beredar, lebih ya. Bisa 10 sampai 15 juta. Sekarang ada mobil baru tiap tahun masuk satu juta, kalau 2030 kita punya target penurunan emisi hanya mengandalkan mobil baru aja, ya susah tercapai. Jadi harus melibatkan mobil lama," kata Bob di Karawang, Jawa Barat, Senin (22/1/2024).

ADVERTISEMENT

"How to reduce emisi mobil lama? ini juga salah satu isu yang harus kita solve, nah ini yang dipelajari Toyota dengan konversi. Bahkan kita juga sudah melakukan konversi Euro2 menjadi Euro4 untuk memperbaiki kualitas," tambah dia lagi.

Tak melulu konversi mobil listrik, Bob melanjutkan Toyota juga mempelajari penggunaan flexy engine pada mobil-mobil hybrid. Sebab payung besarnya ialah terkait pengurangan emisi karbon.

Mobil dengan mesin berbahan bakar energi terbarukan, biofuel itu bisa bisa membantu penurunan emisi. Ditambah kendaraan semacam ini cocok dengan Indonesia yang kaya dengan minyak nabati.

"Terus juga kalau Zenix yang kita pelajari flexy engine, bagaimana nanti dia bisa menggunakan etanol. Hybrid dan etanol itu kan emisinya sudah sama dengan BEV," terang Bob.

"Ke depan kita juga melihat selain BEV nikel, biomassa itu juga merupakan suatu alternatif energi kita ke depan. Karena masing-masing wilayah itu kan punya typically sumber energi sendiri. Misalnya di Sumatera punya sawit, cangkang sawit bisa dikonversi etanol. Kemudian kita juga punya molasses yang ada di Jawa, yang dari pabrik gula. Itu juga bisa dikonversi dari etanol," tambahnya lagi.

Bob menambahkan energi biomassa masing-masing daerah di Indonesia memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi energi baru terbarukan. Sebab transisi energi punya karakteristik yang unik sesuai dengan karakteristik wilayah, basis ekonomi, dan potensi sumber daya potensial yang tersedia.

Pola transisi energi yang dibayangkan TMMIN bukan sekadar memperbesar kapasitas pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) tapi juga melibatkan wilayah yang punya potensi terkait biomassa.

Bahkan tidak menutup kemungkinan, biomassa bisa menjadi hidrogen yang dapat dijadikan pengganti BBM di banyak sektor. Tidak hanya untuk transportasi ringan seperti halnya mobil dan motor.

"Kalau masing-masing daerah bisa mengembangkan biomassa daerahnya masing-masing, kan kita bisa motong ongkos logistik bahan bakar. Masuk ke Jakarta, kemudian redistribusi lagi ke Indonesia. Itu kan biaya logistiknya mahal sekali, dan biaya logistiknya nanti harus dirata-ratain masuk ke biaya bahan bakar. Coba bayangkan masing-masing daerah itu bisa mengembangkan biaya bahan bakarnya sendiri-sendiri, sehingga kita bisa memotong cost of logistic," ujar Bob.

"Salah satu yang kita lihat sebagai intermediasi itu hidrogen, karena dari biomass itu bisa diubah jadi hidrogen. Dan hidrogen bisa digunakan di kendaraan, bahkan bisa dikembangkan jadi pembangkit listrik," jelas dia lagi.

Memang untuk saat ini pemerintah Indonesia hanya memberikan karpet merah buat mobil listrik, dari pengurangan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) hingga Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar satu persen dari 11 persen. Belum lagi insentif non fiskal seperti pembebasan ganjil genap.

Di satu sisi Toyota berharap pemerintah juga melirik kendaraan lain yang ramah lingkungan. Insentif diperlukan untuk penggunaan energi yang lebih baik.

"Ada dua pandangan, satu; net zero emission, jadi semua bentuk teknologi yang menggunakan bahan bakar fossil itu tidak mendapat insentif. Dalam hal ini, hybrid kena, karena masih memakai fossil fuel," kata Bob.

"Tapi ada cara pandang kedua, namanya transisi energi, boro-boro mau net zero, yang penting turunin emisi dulu. Setiap upaya mengurangi penggunaan fossil fuel, dapat insentif, dalam hal ini (hybrid) dapat. Persoalannya cara pandang kita yang mana?" jelas dia.

"Tapi waktu saya ke UK, dia bilang 'terlalu dini lo ngomong di sini', nanti bisa mengalami inflasi hijau itu. Makanya yang penting transisi, kalau transisi setiap upaya menurunkan emisi itu harus mendapatkan insentif. Kenapa? karena ini realistik."

"Jadi memang bagus kalau kita berpikir idealistik, tapi lebih penting yang realistik, yang bisa kita kerjain. Ditambah lagi, seperti yang saya sampaikan tadi, sumber energi banyak. Masing-masing daerah punya sumber energi, terutama biomassa, nah kenapa ini nggak kita kembangin. Nah untuk biomass itu energi transisinya adalah hidrogen. Jadi biomass ke hidrogen, dari hidrogen ke kendaraan," simpul Bob.

Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto memberikan sejumlah contoh greenflation atau inflasi hijau. Istilah ini mengacu pada kenaikan harga barang dan jasa akibat transisi ke ekonomi yang lebih ramah lingkungan atau netral karbon.

Ia menyebut, contoh greenflation ialah kaitannya dengan harga lithium yakni bahan baku untuk membuat baterai mobil listrik. Harga lithium sempat meningkat sebesar 400% pada tahun 2021 dan diperkirakan akan terus naik seiring dengan permintaan global yang meningkat.

"Harga aluminium, yang digunakan untuk menghasilkan energi surya dan angin, naik dua kali lipat antara tahun 2021 dan 2022, dan mencapai titik tertinggi sepanjang masa. Hal ini disebabkan oleh keputusan China, yang memproduksi 60% dari seluruh aluminium, untuk membatasi produksi pabrik baru yang berpolusi tinggi," terang Djoko dalam keterangannya dikutip dari detikFinance, Senin (22/1/2024).

Namun ada beberapa cara mengatasi greenflation. Sebutnya, meningkatkan efisiensi energi dan penggunaan sumber energi terbarukan yang lebih murah dan bersih.

"Mendorong inovasi teknologi dan penelitian yang dapat menurunkan biaya produksi dan konsumsi barang dan jasa yang ramah lingkungan," katanya.

Kemudian, melakukan kerja sama untuk mengatur pasar karbon hingga memberikan insentif untuk sektor yang berkontribusi pada transisi hijau.

"Melakukan kerjasama internasional dan regional untuk mengatur pasar karbon, menghapus subsidi energi fosil, dan memberikan insentif bagi sektor-sektor yang berkontribusi terhadap transisi hijau," katanya.




(riar/din)

Hide Ads