Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) memberikan saran kepada pengusaha atau pemilik truk untuk menurunkan tingkat fatalitas saat kecelakaan di jalan raya. KNKT meminta mereka memasang komponen keselamatan tambahan di belakang kendaraan.
Ahmad Wildan selaku Senior Investigator KNKT mengatakan, bagian ekor truk yang terbuka dan jarak tapak yang terlalu tinggi bisa meningkatkan fatalitas kecelakaan untuk pengguna jalan lain di belakang. Sebab, ketika menghantam truk dari belakang, kendaraan pasti masuk kolong dan peluang pengemudi selamat sangat kecil.
Baca juga: Lebih Aman Truk Pesek atau Bermoncong? |
"Jadi kalau menurut data saya, truk masalahnya bukan di depan tapi di belakang. Jarak antara bagian bawah truk dan aspal terlalu tinggi. Ketika mobil belakang nabrak, maka fatalitasnya 99 persen pengemudi pasti meninggal, karena semua perangkat keselamatan nggak akan bekerja," ujar Wildan kepada detikOto.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Berkaca dari kenyataan tersebut, Wildan meminta pihak terkait memasang penutup tambahan di bagian ekor truk supaya kendaraan lain yang melakukan hantaman tak masuk ke dalam kolong.
"Yang harus kita perhatikan agar semua truk belakangnya dikasih perisai kolong. Sehingga ketika ditabrak kendaraan lain, tingkat fatalitasnya tidak tinggi," ungkapnya.
Pentingnya Pelatihan Sopir Truk
Di kesempatan yang sama, Wildan juga mengingatkan pentingnya peran pelatihan sopir truk dalam mengurangi tingkat fatalitas kecelakaan. Menurut dia, sopir dengan kemampuan mengemudi yang baik dan pemahaman fitur kendaraan yang mumpuni punya potensi kecelakaan yang rendah.
![]() |
Wildan ingin, kurikulum pelatihan sopir truk merujuk pada temuan-temuan di lapangan. Dia mengingatkan, pelatihan semestinya bukan hanya teori, melainkan juga praktik yang sesuai kondisi aslinya.
"Pelatihan-pelatihan digelar tidak berbasis pada temuan-temuannya. Jadi saya ambil contoh, sopir nggak bisa bedain antara service brake dan parking brake yang cara kerjanya beda. Apakah ini ada di pelatihan-pelatihan atau SIM B1 dan B2? Tidak ada semuanya," tuturnya.
"Makanya kami mendorong semua pelatihan mulailah kurikulum dari temuan-temuan KNKT mengenai penyebab kecelakaan," tambahnya.
Lebih jauh, Wildan menegaskan, pelatihan sopir truk bisa meniru skema dan tahapan pelatihan di sektor penerbangan. Selain mengacu pada temuan kasus, pelatihan tersebut juga memiliki level atau tingkatan tes yang harus dilalui peserta.
"Pilot itu dari saat sekolah sudah mendapat lisensi atau student lisence pilot. Kemudian setelah lulus dapat private license pilot. Setelah 1.500 jam terbang, dia bisa dapat commercial licensce pilot," terangnya.
Ketika sudah mendapat commercial license, kata Wildan, pilot tidak bisa serta merta menerbangkan semua jenis pesawat. Dia harus memilih salah satu model untuk kemudian didalami teknologi dan cara kerjanya.
"Di sini kan berbeda, setelah dapat SIM B1/B2, sopir truk boleh bawa semua bus, entah itu Scania, Mercy, Hino dan lain. Itu salah! Terus ketika ditanya, Anda baca manual pengoperasian dan manual kelistrikan nggak? (Jawabannya) nggak," kata dia.
(sfn/rgr)
Komentar Terbanyak
Selamat Tinggal Calo, Bikin SIM Wajib Ikut Ujian Lengkap
Naik Taksi Terbang di Indonesia, Harganya Murah Meriah
Kenapa Sih STNK Tak Berlaku Selamanya dan Harus Diperpanjang?