Kecelakaan lalu lintas yang melibatkan kendaraan besar seperti truk masih sering terjadi di Indonesia. Biasanya, penyebabnya ada dua, yakni disfungsi rem dan kebiasaan sopir yang ugal-ugalan.
Khusus untuk kasus kedua, pemerintah dan perusahaan swasta sudah melakukan berbagai upaya untuk mengubahnya, mulai dari sosialisasi hingga pelatihan khusus. Namun, angka kecelakaan truk akibat sopir ugal-ugalan masih tetap tinggi.
Pada dasarnya, pemerintah sudah mengeluarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 171 Tahun 2019 yang menegaskan seluruh sopir angkutan barang wajib memiliki standar kompetensi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Dalam aturan tersebut, tertulis bahwa pengemudi wajib berkompetensi sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 269 Tahun 2014.
Ahmad Wildan selaku Senior Investigator dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengatakan, banyak pelatihan sopir truk yang kurikulumnya tidak merujuk pada temuan-temuan di lapangan. Menurut dia, pelatihan semestinya bukan hanya teori, melainkan juga praktik yang sesuai kondisi aslinya.
"Pelatihan-pelatihan digelar tidak berbasis pada temuan-temuannya. Jadi saya ambil contoh, sopir nggak bisa bedain antara service brake dan parking brake yang cara kerjanya beda. Apakah ini ada di pelatihan-pelatihan atau SIM B1 dan B2? Tidak ada semuanya," ujar Ahmad Wildan kepada detikOto.
"Makanya kami mendorong semua pelatihan mulailah kurikulum dari temuan-temuan KNKT mengenai penyebab kecelakaan," tambahnya.
![]() |
Wildan berharap, instansi pelatihan bisa menyusun kurikulum baru yang merujuk pada temuan-temuan masalah di lapangan. Sebab, hal ini yang dipakai di dunia penerbangan. Setiap kali ada masalah atau insiden, KNKT di negara terkait akan membuat laporan ke pusat untuk kemudian dijadikan materi pelatihan.
"Kalau ini diadopsi oleh semua pelatihan di Indonesia, sangat bagus. Jadi lebih dinamis. Ini yang dilakukan dunia penerbangan. Jadi di dunia penerbangan, namanya pelatihan, itu adalah berbasis dari temuan seluruh KNKT di dunia," tuturnya.
"Di dalam pelatihan kan ada assessment-nya, satu paket. Misalnya abis ada pelatihan, harus ada praktik, jangan hanya bengong dengerin dan dianggap bisa. Kalau bisa, harus buktikan," sambungnya.
Senada dengan Wildan, Director Training Safety Defensive Consultant Indonesia (SDCI), Sony Susmana mengatakan, pelatihan sopir truk yang ada di Indonesia tidak menjalankan fungsinya dengan benar dan sungguh-sungguh. Sebab, keberadaannya hanya dianggap sebagai formalitas.
"Training khusus (sopir truk) yang ada saat ini diberikan hanya sebatas informasi saja, formalitas. Sehingga, pemahamannya kurang dan risiko kecelakaan jadi tinggi," kata Sony kepada detikOto.
Lebih jauh, menurut Sony, sebelum benar-benar direkrut dan dipekerjakan, sopir harus diseleksi secara ketat dan berlapis. Bukan hanya itu, dia juga harus mendapat pendidikan dari yang dasar sampai ke mahir.
"Itu kenapa sudah harus dievaluasi, baik perekrutan dan pelatihan yang harusnya digelar beberapa bulan sekali. Itu harus direfresh sampai dengan tanda tangan perjanjian tanggung jawab kasus kecelakaan," kata dia.
(sfn/din)
Komentar Terbanyak
Harga BYD Atto 1 Bisa Acak-acak Pasar Agya? Ini Kata Toyota
Parkir Kendaraan di Jakarta Bakal Dibikin Mahal!
BYD Atto 1 Terlalu Murah, Pedagang Mobil Bekas Mulai Panik