Kecelakaan maut yang melibatkan bus pariwisata terus terjadi. Hal ini seakan-akan menandakan ada yang salah dengan sistem bus pariwisata di Indonesia.
Belum lama ini terjadi kecelakaan maut bus pariwisata rombongan tour SMK Lingga Kencana Depok di Ciater, Subang, Jawa Barat. Kemarin, terjadi lagi kecelakaan rombongan study tour di Lampung dan Tol Jombang.
Bus rombongan study tour SMP PGRI 1 Wonosari mengalami kecelakaan maut. Bus berisi 51 orang itu lalu menabrak bak belakang sebuah truk yang melaju di depannya. Hasil penyelidikan sementara, kecelakaan yang menewaskan 2 orang ini dipicu sopir bus mengalami micro sleep.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, bus yang mengangkut siswa-siswi MIN 1 Pesisir Barat masuk ke jurang saat melintas di tanjakan Sedayu, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. Polisi menduga bus rombongan study tour masuk jurang itu karena mengalami kerusakan rem atau rem blong. Akibat dari kejadian itu, enam orang terpaksa dilarikan ke puskesmas karena mengalami sejumlah luka berat.
Menurut pengamat transportasi Djoko Setijowarno, berdasarkan catatan dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), kecelakaan pada bus pariwisata itu polanya hanya ada dua. Pertama, rem blong pada jalan yang sub standar dan kedua micro sleep disebabkan pengemudi mengalami kelelahan mengemudi.
"Pola tersebut dipicu dari karakreristik angkutan wisata yang tidak diatur trayeknya dan tidak diatur waktu operasinya. Mereka bisa beroperasi di mana saja dan kapan saja tanpa ada batasan waktu operasi," ujar Djoko dalam keterangan tertulisnya.
Terkait rem blong, sopir kerap menjadi tumbal. Padahal, pengusaha dan pemilik bus abai terhadap izin angkut dan uji KIR untuk kendaraannya. Bus pariwisata yang kecelakaan pun banyak yang tidak memiliki izin angkutan dan status uji KIR-nya sudah kedaluwarsa.
"Sopir selalu menjadi tumbal dalam setiap kecelakaan bus dan truk di Indonesia. Seharusnya penyelenggara kegiatan dan pemilik bus juga bertanggung jawab. Pengurusan izin KIR itu tanggung jawab pemilik bus, bukan sopir. Kendaraan yang tidak melalui uji KIR berarti rentan kondisinya, tidak laik jalan," ujar Djoko.
"Penyedia jasa angkutan umum yang tidak dapat menjamin kendaraannya laik jalan, pantas diberikan sanksi hukum yang setimpal. Bahkan, para petugas dan pejabat pemerintah yang tidak berkompeten juga wajib diseret ke ranah hukum. Tunjangan fungsional petugas pemeriksa laik jalan kendaraan umum sudah saatnya harus disesuaikan dengan kondisi sekarang," sambungnya.
Selain itu, lanjut Djoko, jalan-jalan menuju destinasi wisata hampir semuanya adalah jalan sub standar (tidak sesuai regulasi) yang memiliki hazard dan berpotensi risiko rem blong bagi kendaraan besar, terutama bagi pengemudi yang tidak paham rute karena menggunakan gigi tinggi saat turun. Demikian juga terkait panjang jari-jari tikungan dan lebar lajur yang tidak ramah bagi kendaraan besar dengan panjang 12 meter dan lebar 2,5 meter.
"Hal inilah yang seringkali mencelakakan bus wisata karena mereka dituntut harus mengantar ke tujuan wisata oleh penggunanya," sebutnya.
Sopir bus juga dipaksa kerja bagai kuda. Hampir semua pengguna jasa bus pariwisata membuat itinerari perjalanan tidak manusiawi. Sopir bus tidak diberi waktu untuk istirahat.
"Aktivitas dari pagi hingga sore untuk berwisata, kemudian malamnya berada di jalan untuk pulang. Kalaupun ada waktu istirahat, hampir semuanya tidak ada yang memberi pengemudi tempat istirahat memadai. Peserta wisata tidur di hotel, pengemudi tidur di bus. Inilah yang memicu sering terjadinya kecelakaan bus wisata karena pengemudinya tidur saat mengemudi, karena kelelahan," kata Djoko.
(rgr/dry)
Komentar Terbanyak
Memang Tak Semua, tapi Kenapa Pengguna LCGC Suka Berulah di Jalan?
Selamat Tinggal Calo, Bikin SIM Wajib Ikut Ujian Lengkap
Bayar Pajak STNK Masih Datang ke Samsat? Kuno! Ini Cara Bayar Pakai HP