Polusi udara di Jakarta akhir-akhir ini mengkhawatirkan. Kualitas udara di Ibu Kota terbilang buruk. Kendaraan pribadi turut menyumbang polusi.
Menurut Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin atau yang akrab disapa Puput, 47 persen polusi udara atau sekitar 19.165 ton/hari bersumber dari kendaraan bermotor.
Sayangnya, saat ini belum ada pembatasan kendaraan bermotor yang masif di Jakarta. Pemprov DKI Jakarta hanya menerapkan kebijakan pembatasan ganjil genap di ruas jalan dan jam-jam tertentu. Pembatasan itu masih bisa disiasati dengan menghindari rute ganjil genap atau menghindari jam jadwal ganjil genap.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Ngeluh Polusi dari Balik Kemudi |
Puput menilai, perlu ada kebijakan yang diambil oleh Kementerian Perhubungan maupun Pemprov DKI Jakarta untuk mengatasi polusi udara. Salah satunya adalah menghindari penggunaan kendaraan pribadi (avoid), dan beralih ke transportasi umum (shifting).
"Menteri Perhubungan itu harus memastikan bahwa pengelolaan transportasi itu berorientasi yang menghindari kemacetan. Menteri Perhubungan itu selalu mengagung-agungkan ASI, avoid, shifting dan improve itu harus dijalankan. Kalaupun tadi BBM bagus, teknologi kendaraan bagus, tapi Menteri Perhubungan tidak mau menerapkan agar orang menghindari penggunaan kendaraan pribadi itu sama saja bohong. Jadi harus terintegrasi," ujar Puput kepada detikcom, Senin (21/8/2023).
Sebab, menurut Puput, masyarakat sudah terlena dengan kenyamanan menggunakan kendaraan pribadi. Jika kendaraan pribadi tidak terkendali, pencemaran udara tidak mungkin akan cepat teratasi.
"Contohnya banyak, orang yang kerja di Thamrin, misalnya kantornya di The Plaza, dia mau makan siang ke Sarinah, bawa mobil, mutar di Monas. Itu kan (kalau tidak menggunakan mobil pribadi) nggak jauh. Padahal dengan mobil jaraknya jauh dan waktunya juga lebih panjang. Tapi karena tidak ada pembatasan (kendaraan) tadi, mereka tetap pakai kendaraan pribadi. Mereka selalu prinsipnya nggak apa-apa lah macet-macet ria, tapi nyaman di mobil saya, bisa dengerin musik dan seterusnya seperti itu," ungkap Puput.
Makanya, masyarakat seharusnya diminta untuk menggunakan transportasi umum maupun menggunakan transportasi non-motor seperti bersepeda atau berjalan kaki. Masalah transportasi kurang nyaman karena berdesak-desakan, di kota-kota besar di dunia juga sama.
"Avoid itu misalnya untuk bekerja jangan pakai kendaraan pribadi atau sepeda motor, naiklah angkutan umum. Soal berdesakan itu kan wajar, di kota-kota besar di dunia seperti itu. Di Paris, New York, Washington DC itu biasa. Jam-jam padat itu wajar, berdesakan wajar. Toh ber-AC. Jadi konteks ini harus dipastikan bahwa Menteri Perhubungan mengupayakan avoid (menghindari penggunaan kendaraan pribadi) tadi. Avoid itu harus dipastikan bahwa pemerintah kota seperti DKI Jakarta harus membangun pembatasan kendaraan pribadi. Misalnya dengan ERP (jalan berbayar) yang sudah kita usulkan 12 tahun yang lalu. Kemudian tarif parkir di kawasan padat lalu lintas itu harus dinaikkan 5-10 kali lipat. Itu orang juga enggan menggunakan kendaraan pribadi," sebutnya.
(rgr/din)
Komentar Terbanyak
Mobil Esemka Digugat, PT SMK Tolak Pabrik Diperiksa
Syarat Perpanjang SIM 2025, Wajib Sertakan Ini Sekarang
7 Mobil-motor Wapres Gibran yang Lapor Punya Harta Rp 25 Miliar