Investigator Senior Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Achmad Wildan mengatakan ada tiga isu utama penyebab kecelakaan angkutan barang dan penumpang di Indonesia. Apa saja?
"Yang pertama kendaraan, 99 persen faktor penyebab kecelakaan dan peningkatan fatalitas itu tidak ada hubungannya dengan tidak terpenuhinya persyaratan laik jalan. Semuanya, penyebab faktor kecelakaan, semua faktor peningkatan fatalitasnya adalah karena tidak terpenuhinya persyaratan teknis kendaraan bermotor," ujar Achmad Wildan saat memberikan paparan rapat kerja bidang perhubungan darat 2022, Selasa (22/11/2022).
Dia mengatakan petugas persyaratan teknis harus lebih jeli dalam meloloskan kendaraan sesuai dengan regulasi yang berlaku di Indonesia.
"Mohon dalam pelaksanaan pengujian kendaraan bermotor di sana sudah diatur dalam PP 55 tahun 2012, PP 30 tahun 2021 ada tiga kegiatan dalam memastikan laik jalan, satu pemeriksaan persyaratan teknis, kedua pengujian laik jalan, ketiga administrasi, itu adalah sekuensi, yang pertama (pemeriksaan persyaratan teknis) jangan ditinggal, itu yang utama. Karena itu terbukti menjadi jadi penyebab kecelakaan dan peningkatan fatalitas," ungkap dia.
Selanjutnya ialah sistem manajemen keselamatan. Wildan menjelaskan Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah besar untuk membenahi masalah sistem keselamatan.
"Bagaimana caranya perusahaan angkutan umum dan angkutan barang punya standar. Saya sudah datang ke sebagian besar perusahaan, mereka hampir tidak memiliki MPD (maintenance planning document). Mereka itu merawat kalau kendaraannya sudah rusak," kata Wildan.
"Terakhir dinamika teknologi, teknologi itu bridging, dari konvensional mekanik kemudian ke ototronik; kombinasi otomotif dengan elektronik, kemudian mekatronik; otomotif, elektronik, dan IT, dan terakhir electrical vehicles, ini bridging-nya cepat banget tapi tidak diikuti dengan kemampuan mekaniknya. Ini yang jadi perhatian kami," jelas dia.
Setelah kedua faktor di atas, penyumbang terbesar dari kecelakaan angkutan barang atau manusia ialah faktor dari pengemudi yang tidak menguasai teknologi.
"Kita krisis pengemudi, kemudian kita krisis kompetensi," ungkap dia.
90 persen hasil temuan KNKT mengatakan pengemudi belum mengetahui cara kerja rem, sistem full hidrolic brake, air hidrolic brake dan full air brake. KNKT mengidentifikasi terdapat lack of kompetensi pada pengemudi yang tidak tercover melalui mekanisme pengambilan SIM maupun pelatihan.
"Hasil investigasi kami menemukan 90 persen masalah hard skill di pengemudi adalah mereka nggak paham sistem rem. Baik pengemudi perusahaan besar, multinasional saya tanya, Anda tahu tidak bedanya sistem full hidrolic brake, air hidrolic brake dan full air brake, nggak ada yang bisa. 90 persen penyebab kecelakaan adalah mereka tidak paham sistem rem, kemudian mereka tidak paham dashboard instrumentasi, kemudian mereka tidak paham pre trip inspection," kata dia.
"Kecelakaan bus sempati star sampai Gubernur Aceh kirim surat ke pak Dirjen agar dicabut izin trayeknya. Kita ke sana, kaget saya. Bus-nya bagus semua. Scania, Mercedes-Benz, yang merawat mereka. Terus masalahnya di mana? Coba saya panggil pengemudi, rupanya mereka tidak paham dashboard instrumentasi pada Scania dan Mercedes-Benz," ungkap Wildan.
KNKT juga mengidentifikasi resiko fatigue atau kelelahan pada pengemudi bus pariwisata dan kendaraan barang sangat tinggi, hal ini dipicu karena kurang lengkapnya regulassi yang mengatur kerja dan tempat istirahat pengemudi.
"Masalah fatigue, ini menghantui. Kita bikin aturan tentang waktu istarahat. Tapi tidak mengatur bagaimana tempat istirahatnya di rest area, di jalan tol, kemudian di tempat wisata," ungkap Wildan.
Soal masalah jalan, lanjut Wildan, hanya jalan tol yang memenuhi standar keamanan.
"Lebih dari 70 persen jalan kita sub standar, elemen geometriknya, baik penampang pelintangnya, alignment vertikal, alignment horizontal, itu sub standar. Bapak tidak akan menemukan hal itu di jalan tol. Jalan tol itu semua penampang pelintangnya ideal, dua jalur, empat lajur dengan median. Tidak demikian dengan jalan non tol," kata dia.
"Cara menurunkan resiko orang celaka di jalan sub standar adalah memberitahu pengemudi bahwa di situ ada jalan yang berbahaya. Kemudian apa yang harus dilakukan," ungkap Wildan.
"Saya kasih contoh, tikungan Harmoko, 20 tahun menjadi daerah rawan kecelakaan. Masalahnya sepele, tikungan di sana R-nya kecil. Dan maksimal hanya bisa untuk kecepatan 50 km/jam. Pilihannya ada dua. Menghilangkan jalan itu dengan membuat jalan baru, atau memberikan papan peringatan. 100 meter sebelum tikungan, hati-hati tikungan patah, kecepatan maksimal 40," kata dia.
Simak Video "Bus Pariwisata Seharusnya Dilarang Lewat Jalan Ekstrem, Setuju?"
[Gambas:Video 20detik]
(riar/din)
Komentar Terbanyak
Kendaraan Hilang Lapor Polisi, Kena Biaya Berapa?
Bikin Orang Malas Bayar Pajak, BBN Kendaraan Bekas dan Pajak Progresif Dihapus
Rossi Pernah Sebut Marquez 'Biang Masalah' di MotoGP, Kini Banyak yang Percaya?